Pelecehan seksual sering kali dianggap sebagai isu yang hanya dialami oleh perempuan, namun kenyataan menunjukkan bahwa laki-laki juga menjadi korban. Sayangnya, kasus pelecehan seksual pada laki-laki jarang mendapatkan perhatian serius, baik dari masyarakat maupun institusi hukum. Kondisi ini dipengaruhi oleh stigma sosial yang melekat pada laki-laki, yang sering dianggap harus "kuat" dan tidak mungkin menjadi korban. Stigma ini tidak hanya menciptakan hambatan dalam pelaporan, tetapi juga memperparah konflik sosial yang muncul akibat ketidakadilan dalam penanganan kasus tersebut.
Budaya patriarki yang mendominasi Indonesia merupakan salah satu akar masalahnya. Dalam budaya ini, laki-laki sering dianggap sebagai representasi kekuatan, sehingga mengakui bahwa mereka menjadi korban pelecehan dianggap menurunkan martabat atau maskulinitas mereka sebagai laki-laki. Akibatnya, banyak laki-laki yang memilih diam ketika mengalami pelecehan seksual, takut akan ejekan atau tidak dipercayai. Bahkan, dalam beberapa kasus, korban laki-laki malah dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pelecehan tersebut. Hal ini menciptakan konflik internal bagi korban dan memperkuat siklus ketidakadilan di masyarakat.
Salah satu contohnya, seorang mahasiswa mengalami pelecehan seksual oleh seorang senior di kampusnya. Ketika ia melaporkan peristiwa tersebut ke universitas, laporan tersebut diterima dengan skeptisisme dan keraguan. Kampus memilih untuk menutupi pelecehan seksual daripada menanganinya karena keyakinan bahwa laki-laki tidak dapat menjadi korban pelecehan seksual, terutama di kampus. Orang-orang ini yang menjadi korban pelecehan akhirnya tidak menerima perlindungan yang mereka butuhkan, dan kasus ini tidak pernah sampai ke meja hijau. Korban bahkan lebih tertekan karena teman-temannya mencemoohnya, yang menurut mereka tidak seharusnya merasa terlecehkan. Kejadian ini menunjukkan bahwa pelecehan seksual terhadap laki-laki tidak hanya terabaikan tetapi juga seringkali dianggap tidak penting, yang memperpanjang penderitaan korban.
Membongkar stigma sosial yang melekat pada pelecehan seksual terhadap laki-laki adalah langkah pertama dalam menyelesaikan konflik ini. Untuk mengubah keyakinan yang salah ini, edukasi masyarakat sangat penting. Kampanye kesadaran yang inklusif harus menyasar seluruh masyarakat, menekankan bahwa pelecehan seksual adalah masalah kemanusiaan yang tidak mengenal gender. Penting untuk menampilkan kisah nyata korban laki-laki dalam media massa dan diskusi publik, sehingga masyarakat dapat memahami kompleksitas masalah ini.
Selain itu, pembenahan sistem hukum sangat penting untuk memastikan bahwa korban laki-laki menerima perlindungan yang sama. Saat ini, banyak peraturan dan undang-undang belum secara eksplisit menyebutkan bahwa laki-laki dapat menjadi korban pelecehan seksual. Untuk mewujudkan lingkungan hukum yang adil bagi semua pihak, diperlukan revisi kebijakan yang lebih inklusif. Selain itu, prosedur pelaporan harus dibuat dengan cara yang ramah terhadap korban laki-laki, sehingga mereka merasa aman dan didukung saat melaporkannya.Jika pelaku dan korban berada dalam ruang sosial yang sama, seperti di tempat kerja atau sekolah, mediasi dapat menjadi cara yang baik untuk menyelesaikan konflik. Pihak ketiga yang tidak bias dapat membantu pelaku dan korban dalam proses mediasi. Meskipun demikian, mediasi harus dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah korban merasa ditekan untuk menerima kesepakatan yang tidak adil.
Kemudian, dukungan psikologis sangat penting untuk pemulihan korban laki-laki. Korban pelecehan seksual dapat mengalami trauma yang parah, dan stigma sosial sering kali menyebabkan kondisi psikologis mereka memburuk. Untuk membantu korban memproses pengalaman mereka dan memulihkan kepercayaan diri mereka, layanan konseling yang inklusif dan ramah harus disediakan. Metode ini juga dapat membantu korban menghindari konflik internal, membantu mereka menjalani hidup dengan lebih baik. Kampanye "#HeToo" yang diluncurkan di banyak negara sebagai tanggapan terhadap pelecehan seksual pada laki-laki adalah contoh positif dari penanganan masalah ini. Kampanye ini berhasil menarik perhatian dunia terhadap masalah yang selama ini terabaikan, membuka ruang untuk pembicaraan, dan mendorong perubahan kebijakan yang lebih menguntungkan semua orang. Di Indonesia, hal yang sama dapat dilakukan dengan melibatkan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan media untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.
Pada akhirnya, pelecehan seksual pada laki-laki tidak boleh diabaikan lagi. Dalam penanganan kasus ini, stigma dan ketidakadilan adalah satu-satunya cara untuk menyelesaikan konflik yang muncul. Ini hanya dapat dicapai melalui pendekatan yang menyeluruh, yang mencakup edukasi, pembenahan hukum, mediasi, dan dukungan psikologis. Dengan mengakui bahwa laki-laki juga rentan menjadi korban, kita dapat membangun masyarakat yang lebih adil dan inklusif di mana setiap orang dapat merasa aman dan dihormati tanpa memandang jenis kelamin mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H