"Taxation without representation is tyranny." - James Otis
Transformasi pajak hiburan, yang melibatkan peningkatan tarif pajak atas jasa hiburan hingga mencapai 40 persen hingga 75 persen, menjadi sorotan utama masyarakat Indonesia. Khususnya, para pelaku langsung di dunia hiburan merasa perlu untuk mempertimbangkan implikasi dari kebijakan ini, terutama karena Indonesia masih dalam proses pemulihan dari dampak pandemi Covid-19.
Menurut Pasal 58 ayat 1 dan 2 UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), tarif Pajak Bahan Jasa Tertentu (PBJT) diatur, dengan batas paling tinggi sebesar 10 persen. Namun, untuk jasa hiburan tertentu seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, tarif PBJT ditetapkan lebih tinggi, berkisar antara 40 persen hingga 75 persen.
Perdebatan seputar kenaikan tarif pajak ini mendapat tanggapan keras dari berbagai pihak, termasuk tokoh-tokoh ternama seperti penyanyi dangdut dan pemilik tempat hiburan karaoke Innul Vizta yaitu Inul Daratista hingga pengacara terkenal Hotman Paris.
Keduanya secara terbuka mengungkapkan ketidakpuasan mereka terhadap tingkat tarif yang tinggi melalui akun media sosial pribadi. Keluhan mereka mencerminkan pandangan bahwa kenaikan ini dapat berdampak negatif pada industri hiburan dan ekonomi secara keseluruhan. Mereka juga mengkritik bahwa kenaikan tarif pahak untuk jasa hiburan tertentu bisa mengancam sekitar 20 juta masyarakat yang bekerja dalam ekosistem industri pariwisata.
Tidak hanya dari kalangan selebriti, tetapi juga pelaku usaha di sektor jasa hiburan secara umum menunjukkan keberatan terhadap peraturan baru yang diterapkan oleh pemerintah. Respons yang mendalam dari masyarakat dan pelaku usaha mencerminkan kekhawatiran akan potensi dampak ekonomi, termasuk potensi penurunan pendapatan dan potensi penutupan usaha di sektor hiburan.
Sebelumnya, aturan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 2022 mengantikan UU 28 Tahun 2009 mengenai pengenaan Pajak Barang dan Jasa tertentu (PBJT) yang mengatur tarif PBJT atas konsumen barang dan jasa tertentu terhadap orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/ atau konsumsi barang dan jasa tertentu. Hingga di Pasal 58 ayat 2 UU No. 1 Tahun 2022 menjelaskan bahwa Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen (sebelumnya paling tinggi hanya 75 persen, tanpa pembatasan minimum, sehingga bisa di bawah 40 persen). Pajak Hiburan yang sebesar yang minimum 40 persen ini dibebankan kepada Customer, sedangkan terhadap pihak Penyelenggara Jasa Hiburan juga dikenakan PPh Badan sebesar 22 persen.
Dikutip dari SIARAN PERS HM.4.6/17/SET.M.EKON.3/01/2024, pemberlakuan pengenaan tarif PBJT yang baru paling lama 2 tahun sejak UU 1 Tahun 2022 mulai berlaku pada 5 Januari 2022 (5 Januari 2024) yang diatur oleh masing-masing Pemerintah Daerah. Beberapa daerah telah menetapkan tarif PBJT diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa: (a) DKI Jakarta melalui Perda Nomor 1 Tahun 2024 menetapkan tarif sebesar 40% (sebelumnya 25%); (b) Kabupaten Badung melalui Perda Nomor 7 Tahun 2023 menetapkan tarif sebesar 40% (sebelumnya 15%).
Sebelum berlakunya UU HKPD, berdasarkan UU 28/ 2009 sudah ada beberapa daerah yang menetapkan tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa sebesar 75% (Aceh Besar, Banda Aceh, Binjai, Padang, Kota Bogor, Depok), sebesar 50% (Sawahlunto, Kab Bandung, Kab Bogor, Sukabumi, Surabaya), sebesar 40% (Surakarta, Yogyakarta, Klungkung, Mataram).
Melalui pemberlakuan pengenaan Transformasi pajak hiburan dengan kenaikan tarif hingga 75 persen menciptakan dinamika diskusi yang kompleks. Meskipun tujuannya adalah meningkatkan penerimaan negara dan mendorong kepatuhan pajak, dampak terhadap industri, masyarakat, dan budaya harus dinilai secara hati-hati.