Tersisa waktu mungkin efektif sekitar 40 harian lagi menuju hari pencoblosan bagi calon legislatif (caleg) di seluruh tanah air. Kalau bahasa orang dulu, mungkin kalimat semangatnya; di pundak mereka harapan masyarakat dititipkan. Klise, tapi memang, minimal kesadaran dalam bentuk kalimat tersebut, masih ada benarnya. Walau tak semudah sebelum sebelumnya, dimana masyarakat mungkin dapat didekati dan ditarik minta dan perhatiannya dengan lebih simpel dan fokus, bilanglah pada masa Orde Baru, dimana partai terbatas tiga saja, dewasa ini, partai banyak jumlahnya, dan kaderisasinya tidak lagi berlangsung linear, mungkin lebih berbentuk siklus, sebab lima tahun sekali selalu ada kejutan, dengan kehadiran caleg-caleg baru yang relatif berinteraksi dengan masyarakat dalam waktu yang lebih sedikit dibanding kader separtai lainnya yang telah berinteraksi duluan.
Tentu pula kemampuan membangun dan menggarap basis calon pemilih setiap caleg juga berbeda. Sepertinya memang dibutuhkan tidak saja kerja keras tetapi juga kerja pintar untuk memenangkan kompetisi tersebut. Bayangkan saja, jika jumlah suara signifikan untuk menghasilkan tiga kursi partai agar lolos masuk senayan atau DPR RI, minimal lima orang caleg harus kompeten untuk mampu minimal mengumpulkan 40.000 sampai 100.000 suara, maka kita tak bisa bayangkan kerja kerasnya untuk memaksimalkan jaringan kerja pribadi, partai dan lingkungan terdekat, berapa pula besaran biaya yang dikeluarkan untuk itu semua. Seorang caleg tidak saja harus cerdas emosional, karena ketika bekerja untuk memaksimalkan raihan suara partainya, ia juga harus memprioritaskan kelolosannya sendiri daripada caleg lain yang separtai, karena itu, ia juga harus cerdas dalam membaca, menganalisa lapangan sehingga mampu membuat prioritas kerja yang paling efektif melalui keputusan gerak pemenangan di daerah pemilihan. Sepertinya, proses ini berlangsung hampir di semua realitas caleg yang bertarung baik di level Kabupaten maupun Provinsi.
Memang terdapat banyak cara untuk mendapat solusi bagi hal di atas, yang paling jelas ya dikerjakan saja, terus turun ke masyarakat, memperkenalkan diri, visi misi dan sebagainya. Hanya saja, faktor keterbatasan waktu, luas dan kompleksnya persaingan membuat banyak caleg yang saling mengarsir dan mungkin tidak menyadari secara penuh wilayah kerjanya sebenarnya juga menjadi wilayah kerja caleg lainnya, baik yang separtai maupun pesaing dari partai lainnya. Disini, dibutuhkan strategi tertentu yang jitu, minimal bilanglah, meminimalisir tingkat ketidaktepatan penggarapan basis calon pemilih, itu yang pertama, yang keduanya, lebih memastikan lagi berada di posisi mana seorang caleg tersebut secara wilayah dan prediksi suara yang mungkin dalam seluruh pertarungan dan persaingan perebutan suara tersebut. Bagaimana peluang-peluangnya, caleg yang mana pula yang menjadi pesaing utama, atau mungkinkah untuk menang, kalau mungkin, bagaimana strategi cepat dan paling mungkin untuk tujuan menang pileg tersebut.
Dalam statistika, dikenal banyak jenis teknik analisis, dari analisa korespondensi, atau yang lebih inferensi seperti teknik regresi logistik, regresi probit, semuanya persamaan kuadratik yang linear, untuk melihat peluang, dan prediksi distribusi suara caleg-caleg yang ada melalui membandingkan nilai F statistiknya. Untuk kepentingan kasus pemenangan caleg ini, sepertinya teknik tersebut praktis dan simpel, walau kurang tepat, jika tujuannya untuk melihat, mengetahui dan memprediksi pola persaingan. Apalagi untuk menghasilkan simpulan-simpulan yang berbentuk alternatif-alternatif keputusan atau tindakan pemenangan yang dapat dilakukan. Hal ini, lebih karena pada riilnya, pada prosesnya, persaingan atau pertarungan selalunya melibatkan satuan atau pihak-pihak yang bertarung langsung atau tidak langsung, dan untuk itu, teknik analisis yang regresif linier tadi membutuhkan kombinasi analisis lanjutan yang cross section. Pendekatan regresi baik dalam klasifikasi informasi atau data, tapi untuk menampilkan persaingan dan simulasi peluang-peluangnya, dibutuhkan teknik klusterisasi data, karena harus ada yang kalah dan menang, maka klusterisasi tersebut membutuhkan hirarki pula. Sepertinya, teknik analisa Kluster Data Hirarkis atau teknik analisa K-means atau k-NN atau analisa tetangga terdekat dalam probabilitas, akan membuat kebutuhan analitik pemenangan seorang caleg di dapilnya menjadi lebih mudah dan praktis untuk didapat diketahui dan dikerjakan alternatif keputusan langkahnya. Wikipedia dan Google menyediakan informasi yang beragam dan mencukupi kebutuhan informasi kita mengenai hirarchical clustering dan K-means tersebut. Pembaca dapat eksplor.
Terdapat alat praktis yang dapat digunakan para caleg untuk tujuan ini, pada link berikut; https://bit.ly/2BqI639 Modal terpenting yang dibutuhkan caleg adalah informasi berbentuk data mengenai jumlah kemungkinan pemilihnya dan pesaingnya baik di tingkat tempat pemungutan suara maupun kecamatan, lalu tinggal diolah dan hasilnya ditampilkan lengkap dengan alternatif bentuk pohon keputusan atau dendogram. Terdapat pula tutorial untuk menggunakannya, pada link berikut; https://bit.ly/2Sn7mBQ dan keterangan mengenai pembuat dan pengembang algoritmanya di https://bit.ly/2E0KgYS Pada dasarnya penggunaan alat tersebut dapat disesuaikan dengan tipikal jenis analisa data pemenangan yang dibutuhkan caleg terkait, batasnya adalah kreatifitas caleg sendiri.
Senanglah hati menghadapi pesta demokrasi rakyat Indonesia tahun 2019 ini. Semoga rakyat semakin maju dan makmur, Indonesia Jaya, melalui peran dan identitas caleg-caleg kami ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H