Oleh : Mona Fatnia
Kesejahteraan sejatinya adalah wujud dari penerapan aturan yang baik dan benar dari tingkatan rendah sampai atas yang akan terjamin dengan adil. Namun itu hanyalah sebuah andai yang tak ternah terwujud pada tatanan kehidupan generasi hari ini, setiap berganti dekade, generasi baru merasakan imbasnya begitupun seterusnya. Kemiskinan yang dihadapi tak ada obatnya bahkan terus bersarang didalam ingatan generasi, hingga mengancam kehidupan. Lantas keadilan sosial seperti apa yang diharapkan, ketika kemiskinan saja tak mampu diselesaikan oleh setiap para penguasa dunia hari ini? Sementara banyak kampanye sosial yang dibuat tapi tak mampu menyelesaikan masalah mendasar ini.
Perlinsos Hanyalah Fatamorgana Penguasa
Kemiskinan tak ayal menjadi masalah mendasar yang sampai hari ini tak bisa diselesaikan oleh para penguasa dunia, terlebih cakupannya meluas dari berbagai negara. Kemiskinan ekstrem sejatinya menjadi problem dunia, menandakan adanya persoalan sistemik yang dihadapi dunia. Wajar bila bukan penyelesaian yang didapat, tetapi ketambahan angka per angka setiap tahunnya. Ini pun didukung dengan tidak adanya perlinsos yang bersifat mengikat pada generasi hari ini.
Berdasarkan data dari lembaga PBB dan Badan Amal Inggris Save the Children, jumlah anak di seluruh dunia yang tak memiliki akses perlindungan sosial apa pun dengan angka mencapai 1,4 miliar, dan ini adalah anak dibawah usia 16 tahun. Inilah yang membuat anak-anak lebih mudah berpenyakit, gizi buruk dan terpapar kemiskinan. Menurut Direktur Global Kebijakan Sosial dan Perlindungan Sosial (UNICEF), terdapat 333 juta anak yang hidup dalam kemiskinan ekstrem, mereka berjuang untuk bertahan hidup dengan pendapatan kurang dari 2,15 dolar AS (Rp 33.565) /hari dan hampir satu miliar anak hidup dalam kemiskinan multidimensi. (Kumparan, 15-020-2024)
Sementara itu, kemiskinan ekstrim yang terjadi di indonesia terus melonjak drastis angkanya di awal tahun 2024. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Suharso Monoarfa selaku Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Kepala Bappenas), bahwa selama ini pemerintah menggunakan basis perhitungan masyarakat miskin ekstrem dengan garis kemiskinan sebesar US$ 1,9 purchasing power parity (PPP)/hari, padahal secara global sudah US$ 2,15 PPP per hari. Ia pun menambahkan bahwa bila basis perhitungan orang yang bisa disebut miskin ekstrem dengan perhitungan secara global, yakni US$ 2,15 PPP per hari, maka pemerintah harus mengentaskan 6,7 juta penduduka miskin hingga 2024, atau 3,35 juta orang per tahunnya. (CNBC Indonesia, 05-06-2023)
Melihat hal tersebut, tentu ini bukanlah masalah yang bisa selesai dalam sebulan, sebab ketimpangan yang terus terjadi pada masyarakat hari ini adalah masalah yang harusnya diselesaikan oleh pemerintah. Melihat perlindungan sosial yang tak berfungsi sebagaimana tujuannya menandakan bahwa perlinsos sendiri nyatanya hanya sebuah progam tanpa ada tindak yang jelas dan pasti.
Karena pada dasarnya, perlinsos sendiri tak ubahnya seperti roda yang berputar diatas tumpukan batu besar, meski rodanya jalan tapi pada akhirnya kerangka yang menahan roda tersebut hancur dan tak berfungsi.
Tak ayal hingga hari ini pun perlindungan sosial tersebut tak memberikan hasil yang cukup signifikan bagi anak-anak yang ada dalam lingkaran kemiskinan, yang mencakup pada memberikan tunjangan uang tunai atau kredit pajak serta dapat mengakses layanan kesehatan, nutrisi, pendidikan berkualitas, air, hingga sanitasi. Namun segala tunjangan tersebut hanyalah penawar diawal yang pasti akan hilang, sedang penderitaan masih akan terus dirasakan oleh mereka yang masih jauh dari kata sejahtera.
Bila melihat peta jalan kemiskinan yang masif terjadi per hari ini, bisa dikatakan bahwa perlindungan sosial nyata dan pasti tak bisa menyelesaikan masalah mendasar, apalagi seringnya para penguasa dunia membawa isu kemiskinan untuk bisa dijadikan ajang tontonan bagi khalayak umum agar bisa mendapat bantuan besar. Karna sebenarnya perlinsos sendiri hanyalah program fatamorgana penguasa yang tak pernah diseriusi untuk diperbaiki dan dijalankan sebagaimana mestinya.
Melihat angka kemiskinan hari ini yang terus melonjak naik, menyebabkan ketimpangan-ketimpangan baru terus bermunculan, ini pun bukan hanya bertambahnya angka kelahiran didunia, melainkan didasari oleh beberapa hal : Pertama, Negara-negara yang memiliki pendapatan rendah yang cukup signifikan dibandingkan dengan negara-negara berpendapatan tinggi yang akhirnya memunculkan kemiskinan ekstrem sehingga hanya satu dari 10 anak bahkan lebih yang mempunyai akses terhadap tunjangan. Kedua, Tidak adanya sumber daya alam yang memumpuni untuk bisa dijadikan tempat mata pencaharian rakyat karena pada faktanya Sumber daya alam yang ada justru dikuasai oleh para korporasi oligarki, dengan ini malah makin membuat kemiskinan ekstrem terjadi.
Kemiskinan ekstrem ini justru mengancam masa depan generasi, menginggat perlinsos sendiri hanya mampu menyelesaikan masalah dipermukannya saja dengan memberikan tunjangan dan faskes bagi masyarakat miskin, yang sebenarnya hal itu bukan memperbiki masalah tapi malah menambahnya. Karna penyelesaiannya bukan pada permukaan melainkan dasar inti kenapa kemiskinan ekstrem bisa terjadi.
Penanganan ekstem ini bukan hanya soalan data, memberikan kepada masyarakat, mengejar target lalu selesai. Bukan !, Karna Indonesia sendiri misalnya melalui Wakil Presiden RI Ma'ruf Amin menargetkan angka kemiskinan ekstrem di 2024 menjadi 0% . Dimana pemerintah sendiri sudah berupaya melakukan berbagai cara untuk menumpas kemiskinan dalam lima tahun terakhir, mulai dari perluasan bansos, renovasi program pendapatan melalui kebijakan pasar tenaga kerja, sampai mobilisasi perlindungan sosial pada masa pandemi COVID-19. (DetikNews, 22-02-2024)