Oleh: Mona Fatnia Mamonto, S.Pd
Kemiskinan tak kunjung rampung, sementara sekat-sekat korupsi pun makin menjamur, tak ada arah apapun dalam penyelesaiannya pun pada berbagai rencana yang dibilang terukur, beribu proyek besar mulai diukur agar nantinya skala pencapaian tujuan tak terlihat amburadul. Hal ini pun sejalan dengan tujuan Presiden Jokowi untuk menargetkan percepatan penururan kemiskina ekstrem dari angka 2,04 ke 0 % di tahun 2024.
Lalu penghapusan kemiskinana yang mana lagi dijadikan target dalam penuntasan angka tersebut, sementara dalam setiap daerah skala ekonomi masyarakat tak menentu ?
Kemiskinan ala Kapitalis
Setiap beban ada masanya, pun pada keadaan masyarakat yang setiap hari mengais rezeki untuk bisa bertahan hidup ala kadarnya, bukan sebuah pilihan ketika keadaan memaksakan, namun hal ini didukung oleh sistem yang mengaturnya. Kemiskinan tak pernah rampung meski telah berganti manusianya.
Hal ini berbalik dengan pernyataan Presiden Jokowi yang menargetkan penghapusan angka kemiskinan ekstrem di Indonesia tahun 2024, ia pun mengatakan bahwa upaya penurunan kemiskinan ini sebenarnya sudah jalan namun terkendala oleh keadaan Covid-19 2 Tahun lamanya, dan berkaitan dengan kemiskinan ekstrem ini sudah direncanakan di periode ke dua sehingga nantinya angka kemiskinan yang ada sudah masuk pada angka 0, yang ini pun menjadi salah satu program periode kedua dalam penuntasan kemiskinan dengan percepatan yang terencana. (Tirto, 09-06-2023).
Namun dari terget yang direncanakan pun terlalu ambisius, terlebih masa pengerjaannya hanya satu tahun yang di mulai tahun 2024. Wajar bila target yang dibuat diluar nalar.
Bila melihat data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Maret tahun 2021 ada 2,14 % atau 5,8 juta jiwa masyarakat Indonesia masuk dalam kategori miskin ekstrem, dengan mempertimbangkan dari berbagai kondisi, kemiskinan ekstrem ini pada tahun 2024 bisa mencapai 2,6 % atau 7,2 -- 8,6 juta jiwa. (Voaindonesia,10-06-2023).
Tentu proses penghapusan kemiskinan ekstrem ini digenjot sedemikian rupa agar sesuai target yang terarah, penghapusannya pun malah akan membuat ketimpangan sosial ditiap daerah.
Pasalnya seluruh pelosok daerah yang ada di Indonesia hari ini tak semuanya rata, misalnya saja di daerah terpencil yang penghasilannya hanya bisa didapatkan apabila ada yang memperkerjakan mereka sebagai buruh harian, mereka inilah kelompok yang terpinggirkan. Maka hal ini tak akan semudah memberantas kemiskinan di tiap pelosok daerah.
Hal ini pun didasari pada beberapa hal ; Pertama, adanya optimisme data dari pemerintah terkait dengan masyarakat yang tergolong dalam keluarga miskin ekstrem, baik nama dan alamat dari keluarga tersebut. Kedua, pemerintah menerapkan tiga strategi dalam menurunkan dan menghapuskan kemiskinan ekstrem.
Kemiskinan ekstrem sendiri terjadi akibat adanya kemampuan daya beli (Purchasing Power Parity/PPP) yang hanya mencapai $1,9, BPS pun pada 2021, mengkategorikan kemiskinan ektrem dengan pengeluaran dibawah Rp 10.739/0rang dalam perharinya atau Rp 322.170/ orang dalam setiap bulannya. Ini pun berdasarkan kategori pada bulan maret yang memiliki 2,1% atau 5,8 juta jiwa warga Indonesia yang termasuk dalam keluarga miskin ekstrem.