Oleh : Mona Fatnia Mamonto, S.Pd
Polemik jabatan kian dipacu untuk melancarkan apa yang dituju. Namun apa jadinya bila yang dituju malah membuat rakyat terseduh-seduh. Inipun menyasar pada lembaga anti suarah dengan kredibilitas tinggi, tapi menghasilkan kinerja yang tak lebih-lebih. Pasalnya, penambahan jabatan pimpinan KPK diperparah dengan mencuatnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa pimpinan komisi pemberantasan korupsi memegang jabatan selama empat tahun, yang dimana bertentangan dengan konstitusi UUD 1945. Tentu hal ini tak masuk akal jadinya, lalu sebenarnya putusan ini untuk siapa dan tujuanya apa ?
Aturan Di Kebiri
Pasca diputuskannya perpanjangan masa kerja pimpinan KPK oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dari 4 tahun jabatan menjadi 5 tahun. Inipun menurut ketua MK, Anwar Usman pada pasal 34 UU No.30 Tahun 2002 tentang komisi pemberantasan korupsi tindak pidana korupsi yang berbunyi "Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama empat tahun" bertentangan dengan UUD 1945 dan hal ini adalah tidak konstitusional. (Tirto.id, 28-05-2023).
Tentu hal ini menjadi polemik besar bagi rakyat, terlebih bukan hanya jabatan ketua KPK yang diperpanjang, melainkan jajaran Dewan Pengawas KPK beserta dengan staff terkait. Alasan ini pun berdasar untuk menjaga konsistensi dan harmonisasi pengaturan masa jabatan. Ini pun didukung dengan pernyataan salah satu Hakim Konstitusi, Guntur Hamzah, menurutnya masa jabatan pimpinan KPK selama empat tahun bukan hanya bersifat diskriminatif, namun juga tidak adil dengan komisi dan lembaga independen lainya.
Hal ini pun tak sesuai dengan konstitusi yang terkait dengan kepentingan rakyat sendiri, malah mengarah pada politisasi aturan. Padahal kita tau bersama bahwa Mahkamah Konstitusi tak seharusnya ikut campur dalam pembuatan masa jabatan, yang seharusnya menjadi hak DPR, yang dengan ini pula merujuk pada putusan-putusan MK terkait gugatan yang sifatnya open legal policy, dan hakim konstitusi akan menolak gugatan lalu menyerahkannya pada pembuat undang-undang yaitu DPR.
Maka tak diragukan lagi, bila aturan mudah diutak-atik sana sini dengan beribu alasan yang tak pasti, terlebih arahnya lebih kepada kepentingan suatu pihak. Hal ini tentu didasari pada beberapa hal : Pertama, Tidak adanya keadilan yang didapat oleh KPK terkait masa jabatan yang disamakan dengan lembaga lain. Kedua, Penambahan syarat batas usia calon pimpinan KPK paling rendah 50 tahun dan paling tinggi 65 tahun yang dimana bertentangan dengan UUD 1945.
Tentu putusan ini sudah tak sesuai alurnya, apalagi untuk prosedur yang disyaratkan, malah mengambaang seperti balon terbang, Mahkamah Konstitusi pun sejatinya mencampuri urusan DPR dengan mengatur masa jabatan dan batas usia pimpinan KPK, yang kita tau bersamam bahwa pengangkatan pimpinan KPK dilakukan oleh Presiden dan DPR. Namun hal itu tak sejalan dengan apa yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi yang lebih dulu mengambil garis finish. Pasalnya, putusan yang ada memunculkan keanehan dan nuasanya mengarah ke politisasi kebijakan kotor. Inipun sejalan dengan kasus yang saat ini ditangani oleh pimpinan KPK, kasus korupsi Formula E dengan pemaianya salah satu bakal capres 2024.
Walhasil, kasus yang adapun bisa menjadi senjata ampuh bila sewaktu-waktu KPK menargetkan bakal capres yang ada untuk dijadikan tersangka dalam kasus dugaan korupsi Formula E. Maka alasan Mahkamah Konstitusi untuk menambah masa jabatan pimpinan KPK adan Staf terkait merupakan keputusan yang fatal. Bila pun sesuai, tentu putusan yang ada bukan dipakai pada masa jabatan pimpinan KPK saat ini, melainkan pada jabatan selanjutnya.
Bukan itu saja, hal ini pun diperkuat dengan pernyataan dari juru bicara Mahkamah konstitusi yang tak sesuai, Fajar Laksono pun berucap bahwa masa jabatan pimpinan KPK saat ini yang nantinya berakhir pada 20 Desember 2023, tanpa bermaksud menilai kasus yang konkrit, agar kiranya pentinga bagi Mahkamah Konstitusi untuk segera memutuskan perkara terkait agar memberikan kepastan hukum dan manfaatan yang berkeadilan. (bbc.com, 27-05-2023).