Setiap orang, politisi, memiliki hak untuk melakukan kreasi-kerja politiknya. Bahkan, bisa jadi hal itu, menjadi sebuah kepatutan, manakala ada kemandegan politik dalam mewujudkan cita dan harapan bangsa dan negara. Ini adalah satu poin. Dalam pengertian lain, kita tidak boleh mengabaikan visi dan misi ini. Sejatinya, kreativitas personala dari seorang politisi akan menjadi bagian penting dalam membangun dinamika politik di negeri kita, khususnya dalam konteks mewujudkan Indonesia yang demokratis, dewasa dan maju dan berkesejahteraan.
Persoalannya, apakah perjalanan kerja politik itu kemudian searah dengan visi dan misi kebangsaan itu sendiri?
Di sinilah, soalannya. Pada konteks itulah, kekritisan kita dalam memahami fenomena kelakuan politik menjadi penting untuk di kedepankan.
Beda pilihan, tentunya adalah hal biasa. Alamiah, untuk konteks demokrasi. Bila pandangan adalah wajar, sekali lagi, tentunya hal itu masih senapas dengan ruh-demokrasi. Beda ideologi, sepanjang dalam koridor ideolog kebangsaan - Pancasila, maka hal itu pun, masih bisa diakomodir.
Karena Pancasila, sejatinya keleluasaan dalam ekspemerin politik yang dilandasi atau dipayungi oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Inilah sisi konseptualnya, ideologi Pancasila di negeri kita ini.
Sekali lagi, soalaan yang ingin dicoba diajukan di ruang ini, adalah apakah kemudian kerja-kerja politik itu kemudian dapat dinilai dalam kerangka penguatan visi dan misi bangsa Indonesia?
Tanpa bermaksud untuk menyederhanakan masalah, kita diingatkan dengan pandangan Eric Barker, tentang tangga pendakian yang digunakan. Setidaknya, ada tiga kemungkinan yang bisa terjadi dengan situasi ini.
Pertama, seseorang menggunakan tangga pendakian yang tepat, untuk mencapai tujuan yang tepat. Partai politik adalah tangga yang tepat untuk mencapai kekuasaan, dan pemilu adalah tangga yang tepat untuk membangun demokrasi.
Karena sejatinya, demokrasi adalah kompetisi peraihan kekuasaan dengan tangga yang tepat atau konstitusional. Oleh karena itu, ukuran kematangan demokrasi, bisa diukur dari kesehatan proses pemilihan umum, dan juga kaderisasi di internal partai politik. Kiranya kita dapat mengatakan, bahwa dua indikator itu, bisa digunakan untuk mengukur kesehatan demokrasi sebuah negara yang tengah berproses.
Kedua, seorang menggunakan tangga pendakian yang benar, tetapi untuk tujuan yang salah. Penegakkan hukum adalah wajib. Tidak ada yang bisa memprotes masalah ini. Semua warga negara akan setuju dengan agenda penegakkan hukum.
Namun, penegakkan hukum yang dimainkan, sekedar untuk memainkan kepentingan dan kekuasaan, maka akan menjadi bumerang bagi demokrasi di Indonesia. Gejala ini, kita sebutkan sebagai penggunaan tangga yang tidak tepat untuk sebuah tujuan.