Lihat ke Halaman Asli

Momon Sudarma

Penggiat Geografi Manusia

Mengganggu Rasionalitas Kedemokrasian Indonesia

Diperbarui: 14 Juli 2024   08:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber : antaranews.com 

Ada pertanyaan krusial, yang perlu disampaikan saat ini. Kemanakah arah rasionalitas kedemokrasian Indonesia ? pertanyaan ini, layak untuk diajukan, khususnya terlepas  pelaksanaan Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (pilpres) kemarin. Tentunya, dengan pengajuan pertanyaan ini, dan juga bila dikaitkan dengan  hasil pilpres kemarin, maka tentunya, akan memunculkan pertanyaan lanjutan, apakah pertanyaan ini, menjadi bagian dari barisan yang gagal move on, atau pertanyaan progresif terkait dengan kedemokrasian di Indonesia ?

Dua kubu pemikiran ini, rasanya sulit untuk diselesaikan dengan mudah.  Kendati, keputusan Mahkamah Konstitusi sudah keluar, namun persepsi dan citra proses demokrasi di tahun 2024 ini, akan sulit untuk mengubah pemahaman lawan politiknya. Siapapun kita, apakah yang berada di posisi kelompok pemenang, atau kelompok yang belum beruntung, akan memiliki posisi yang sulit untuk mengembangkan sikapnya secara leluasa.

Narasi ini tidak akan mengulas hal-hal yang terjadi di masa lalu. Narasi ini, lebih mengarah pada prakondisi politik pra-pilkada esok hari. Beberapa bulan yang akan datang. Hampir dipastikan, mangacu laporan data dari KPU, total daerah yang mengikuti penyelenggaraan Pilkada serentak tahun 2024 di Indonesia adalah sebanyak 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota. Dengan pelaksanaan pemungutan suara Pilkada serentak pada Rabu, 27 November 2024.  

Persoalannya yang layak untuk diajukan, akankah politik dinasti, akan muncul dan menguat di era pilkada 2024 ?

Kita semua paham, sebelum-sebelumnya, sebagian-cendikia melakukan kritik dan koreksi terhadap politik dinasti. Maksud dari politik dinasti itu, yakni pilkada yang diwarnai oleh peserta dari keluarga incumbent atau petahana.  Anggota dinasti itu, bisa dari keluarga inti, istri atau suami, atau kerabat dekat dan jauhnya pejabat sebelumnya. Aroma kedinastian dalam pilkada ini, sempat menjadi buah bibir netizen dan juga media.

Selepas tahun 2024 ini, akankah hal ini akan menjadi sesuatu yang menarik untuk dijadikan wacana ? 

Lha, kok masih bisa dipertanyakan demikian ? ada beberapa argumentasi yang bisa penguat argumentasi hari ini ke depan.

Pertama, argumentasi kedemokrasian kita hari ini, sedang diuji dan diaduhadapkan dengan popularitas dan elektabilitas. Partai-partai besar dalam pileg 2024 ini, tampaknya mulai mengakui 'kebenaran' elektabilitas dan populatitas dibandingkan pada esensialitas kedemokrasian. Dengan kesadaran serupa ini, maka prasangka kedinastian, bisa gugur dengan sendirinya, manakala elektabilitas dan popularitas dijadikan sebagai benteng-argumen dalam membangun nalar kedemokrasian. 

Logika politiknya sangat sederhana. Rakyat suka, dan rakyat memilihnya, apa salahnya, jika anggota dinasti kemudian mampu memenangkan pilkada di tahun 2024 ini ? Bila hasil pemilu, ternyata ada diantara anggota penguasa yang masuk menjadi elit politik, baik di pilkada, maupun pilleg. lantas apa masalahnya ? mungkin benar, ada faktor lain selain faktor kredibilitas dan kompetensi politik personal dari kandidatnya, tetapi bila kemudian, faktualnya sebagian rakyat Indonesia memilihnya, lantas apa maknanya ?

Boleh saja, ada yang mengatakan bahwa fenomena faktual itu bukan fenomena sejatinya demokrasi-yang matang (maturaity), tetapi lebih mengarah pada gejala ketidakmatangan demokrasi (immature democracy). Namun disisi lain, kita juga bisa mengatakan bahwa inilah arah perkembangan demokrasi di Indonesia.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline