Lihat ke Halaman Asli

Momon Sudarma

Penggiat Geografi Manusia

Biarkan Orang Lain Ragu, Asalkan Kita Tidak Ragu terhadap Diri Sendiri!

Diperbarui: 3 Juli 2024   21:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber : tabloid.komunio

"gila..." itulah ungkapan pertama, yang disampaikan teman, melihat sikap dan kelakuan temannya yang lain, yang mengambil tawaran untuk menjadi pemangku bidang kurikulum di sebuah lembaga pendidikan.

Bisa jadi, 'iya', bahwa dia memiliki pengetahuan mengenai manajemen pendidikan. Tetapi, pengalaman praktisnya, di dunia pendidikan, banyak pihak menilainya, dia tidak masuk kategori orang yang berpengalaman. Jangankan untuk memangku jabatan bidang kurikulum, untuk sekedar wali kelas pun, sudah lama dia tinggalkan. Selama ini, dia hanya memiliki tugas sebagai guru mata pelajaran, atau pembina ekstrakurikuler.

"luar biasa.." itulah, ungkapan  rekan yang lainnya, dalam menilai rekan satu kampusnya tersebut. Tidak jauh beda dengan penilaian orang-orang lain yang ada di sekitarnya. Orang yang sedang dibicarakan itu, masuk kategori nekad yang beririsan dengan ceroboh dalam mengambil resiko sebuah jabatan.

-o0o-

Tidak menutup mata. Di zaman sekarang ini, dapatlah dengan mudah ditemukan, jabatan-jabatan publik yang dipegang oleh orang 'tak selamanya' memiliki pengalaman profesional dalam bidang yang diembannya.  Seorang dokter, karena politisi bisa saja menjadi komisaris utama sebuah perusahaan atau lembaga perbankan. Karena anak seorang pejabat negara, dengan sistem nepotis yang tumbuhkembang di lingkungannya, bisa saja dia menduduki jabatan profesi yang sarat dengan kompetensi dan keahlian.  Realitas serupa ini, sudah biasa dan wajar dihadapi dan disaksikan oleh masyarakat kita, baik di sini, maupun di sana.

Namun, hal itu, akan semakin aneh dan menarik lagi, bila jabatan akademik yang sarat intelektualisme, kemudian malah dijabat oleh orang yang naik-turunnya bergantung pada atmosfer politik.  Sebut saja, misalnya, bila dunia pendidikan atau lembaga penelitian, diduduki oleh orang-politis, yang naik dan turun karena kepentingan politis, maka nalar objektif dan rasionalnya potensial 'terpinggirkan'.

Karena dan dengan alasan serupa itulah, fenomena yang tampak dalam obrolan kali ini, mencuat dan menguat. "kok, bisa .." atau "kok, berani..", lembaga ilmiah dan edukatif, dipegang oleh orang yang tidak memiliki pengalaman mumpuni untuk bidang tersebut. Itulah penilaian sebagian orang, yang dialamatkan kepada orang yang sedang dibicarakan tersebut.

Namun, dibalik itu semua dan ini adalah realitas kehidupan kita. Orang yang sedang dibicarakan itu memiliki karakter kuat yang tidak dimiliki oleh kebanyakan orang.

Pertama, nekad. Ini adalah sikap yang banyak digunjingkan, dan dialamatkan sebagai karakter dari orang yang sedang dibicarakan tersebut. Sebut saja, si fulanah. Dia dinilai banyak pihak sebagai orang nekad, yang tak memiliki latar pengalaman dalam bidang kurikuum pendidikan, namun mau duduk di posisi tersebut.

Kedua, peluang maju terbuka. Jelas sudah. Dibanding dengan para penggunjingnya, si Fulanah ini memiliki peluang untuk maju yang terbuka. Artinya, dia sudah bisa melangkah. Soal salah, bisa diperbaiki di perjalanan. Soal belum paham, bisa sambil belajar. Prinsip dasarnya adalah melangkah maju memanfaatkan peluang.

Sikap kedua ini, jelas akan membedakan sejarah hdiup antara pengamat, pengomel, pengeritik dengan dirinya. Orang yang dikriik memang ada peluang 'keliru', tetapi peluang keliru memiliki ruang sama besarnya dengan peluang sukses berkelanjutan. Sementara, orang yang mengkritik, jelas tidak mau mengambil resiko, berarti tidak ada peluang maju, dan akan tetap berada di posisi yang sama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline