Memang tidak mudah, untuk membicarakan masalah tempat tinggal. Manusia, kerap kali memiliki rasa atau rasa kepemilikan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Tidak semua orang memiliki hal yang sama, dengan sesuatu hal, dan tidak semua hal bisa mendatangkan rasa yang sama terhadap seseorang.
Kadang kita prihatin, dengan adanya orang yang tertidur di pinggiran jalan, trotoar atau koridor jalanan atau gedung-gedung mewah di perkotaan atau pusat pertokoan. Kita menyebut mereka gembel, atau kaum tunawisma. Tetapi, kita pun, ternyata abai, bahwa dibalik itu semua, ada fenomena unik yang tampak dalam diri mereka. Mereka tampak 'nyenyak' tidur di tempat-tempat dimaksud. Apakah mereka nyaman dengan kondisi itu ? apakah mereka betah dengan kondisi itu ?
Ah, tentunya, kalau ditanya, jawabnnya sudah mudah ditebak. Harapan mereka, bila ada kesempatan dan peluang, atau ada modal, mereka berharap bisa menempati tempat yang lebih baik dari yang mereka jalani selama ini. Kiranya, jawaban ini, akan lebih banyak kita dengar dibanding variasi komentar yang lainnya.
Namun demikian, sebagai orang luar, kita dapat melahirkan sebuah analisis yang kritis dan panjang terhadap gejala ini. Kita, boleh melahirkan sebuah meta-analisis mengenai kelompok terpinggirkan oleh kapitalisme, atau kesalahanurus dari pemerintah, dalam mengelola dan melindungi rakyatnya sendiri. Munculnya kelompok tunawisma, dalam perspektif ini menunjukkan adanya indikasi kegagalan pembangunan, yang malah menyebabkan lahirnya kelompok kritis secara ekonomi, dan khususnya dalam aspek perumahan.
Sekali lagi. Dalam konteks ini, kewajiban pemerintah itu adalah melindungan warga negaranya dalam aspek kepemilikan terhadap tempat tinggal. Program inilah, yang disebut 'perumahan'.
Perumahan asal kata dari imbuhan pe-an, yang digandeng dengan kata rumah. Makna dasar dari imbuhan pe-an, yaitu sebuah proses. Pendidikan artinya proses mendidik, pelajaran maknanya proses mengajari, maka karena itu pula, program perumahan pada dasarnya adalah melakukan serangkaian kegiatan sistematis dan berkelanjutan untuk memberikan tempat tinggal kepada warga negaranya.
Dapatkah kita mengatakan bahwa program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menjadi bagian proses dari program perumahan ? kiranya, bila dilihat dari proses dan faktualnya, tapera belumlah dapat dikategorikan sebagai proses perumahan. Hal itu terjadi, karena proses akumulasi dana, dan fungsi penggunaan dana di akhir proses penabungan itu, masih jauh panggang dari api. untuk bisa mendapatkan rumah.
Taruhlah, bila kemudian, disebutkan, bahwa akumulasi dana di Tapera bisa digunakan sebagai modal awal untuk mendapatkan rumah di hari esok, maka realitasnya, pendapatan rumah yang bisa diraih oleh warga negara itu, tidak sesuai dengan imajinasi dan proses waktu yang dilakukannya.
Melalui sejumlah waktu yang dilalui dalam proses menabung, dengan hasil dana yang bisa digunakan untuk membeli rumah di hari esok, dapatlah disebut jauh dari kebutuhannya. Akumulasi dana bertahun-tahun, sekedar ratusan juta, sementara harga rumah sudah melipat-ganda mahalnya dibanding dengan jumlah dana yang terkumpul.
Dalam konteks itulah, proses perumahan yang dimaksudkan oleh Tapera, hampir sudah bisa dipastikan bila dikatakan tidak humanis. Banyak opini menyebutkannya, bahwa jumlah dana yang terkumpul dengan kemampuan penabung untuk mendapatkan rumah di hari esok, menjadi sangat tidak masuk akal. Itulah yang kita sebut homisasi yang tidak humanis.
Realitas lainnya, yang juga hadir di sekitar kita, masih ada saudara kita yang hidup di kardus, di gerobak sampah, atau di bedeng gendung, jembatan atau sudut-sudut gedung perkantoran. Boleh saja dikatakan bahwa mereka itu sudah memiliki tempat tinggal, tetapi tempat tinggalnya itu tidak humanis.