Lihat ke Halaman Asli

Momon Sudarma

Penggiat Geografi Manusia

Cara Ngitung Upah Guru Honorer, Kok Gitu Ya..?

Diperbarui: 25 Mei 2024   15:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber : quora.com

Setiap hari pendidikan, hari guru, atau membincangkan masalah pendidikan dan keguruan, masalah kesejahteraan guru honorer itu, selalu mencuat, dan merebak di media sosial. Temanya, mungkin belum beranjak jauh. Temanya, di seputar nasib karirnya, dan nasib kesejahteraan, walau kadang juga ada yang  menyuarakan mengenai keadilan terhadap perlindungan hukum tenaga pendidik honorer di seluruh penjuru negeri, di negeri kita ini.

Sekali lagi, untuk kesekian kalinya, di media sosial, ramai membicarakan mengenai cara penghitungan honorer bagi guru swasta. berbagai spanduk di bentangkan, mengenai kesejahteraan yang minim, atau upah guru honorer yang terbatas, atau bahkan di sebutnya di bawah Upah Minum Regional. Alih-alih bisa memberikan kebanggaan, bila dibanding dengan kerja di pabrikan, secara finansial, tampak sekali masih  jauh dari sejahtera, dan dibawah UMR.

Ada yang mengatakan, "ya, kalau mau kaya, jangan jadi guru, apalagi guru honorer, pergilah sana jadi pengusaha...!" suara seseorang dari pojok tertentu. 

Tanggapan serupa itu, mungkin ada benarnya. Tetap, jelas tidak memecahkan masalah, dan tidak menyelesaikan masalah. Karena soalan yang diajukan itu, adalah 'mengapa upah guru honorer itu, kerap kali mencuat sangat kecil, dan dibawah UMR?".  Dalam konteks itula, dan dalam obrolan itulah, ada semacam ketidakmengertian, darimana asal usul, dan mengapa cara penghitungannya kok aneh ?!

Bagaimana tidak disebut aneh, jika memang, kerjanya sebulan, tetapi dihitungnya cuma satu minggu, dan gaji yang diberikan pun, hanya yang seminggu tersebut. Sementara, beban kerja yang 3 minggu lainnya, tidak dihitung, atau 'diabaikan'.

Bagi mereka yang kerja di luar dunia pendidikan, mungkin akan bingung membaca paparan tersebut. Tetapi, bagi seorang tenaga pendidik, atau yang pernah dan tengah menjalani posisi sebagai tenaga pendidik honorer, baik di lembaga pendidikan negeri maupun satuan pendidikan yang dikelola masyarakat, akan mudah memahaminya.

Baiklah, untuk sekedar memberi contoh, atau gambaran mengenai hal ini. Misalnya, ada si fulanah, mengajar di sekolah swasta (boleh juga di negeri), mata pelajaran Geografi (ih, gue banget ini..) di SMA/MA. Oleh pihak sekolah (atau kurikulumnya) diberi beban mengajar sebanyak 10 jam, yaitu di kelas X-1 sampai X - 5, yang rata-rata beban mengajarnya 2 jam pelajaran per minggu. Artinya, di setiap pertemuannya (untuk satu bulan penuh), untuk setiap kelas akan menghabiskan waktu sekitar 2 jam pelajaran (jpl).

Bila saja, sekolah itu memberikan honor  sebesar  80.000 IDR, maka si Fulanah itu akan mendapatkan honor perbulannya adalah 80k x 10, atau 800k   (delapan ratus ribu rupiah). 

Darimana angka 800k itu didapat ? ya itu, tadi, dari banyak mengajar selama seminggu (10 jpl), dikali honor per jam yang diberikan sekolahnya sebesar 80k. Lantas, bagaimana beban mengajar yang 3 minggunya lagi,  bukankah Fulanah, di minggu kedua, ketiga, dan keempat pun, mengajar sebanyak 10 jam pelajaran lagi  disetiap minggunya ?

Itulah masalahnya.

Pertama. Selama ini, dan ini yang berlaku di dunia pendidikan. Menghitung beban kerja seorang tenaga pendidik itu adalah per minggu. Memang, untuk penghitungan beban mengajar seorang tenaga pendidik, termasuk ASN itu wajib mengajar 24 Jpl/minggu, padahal aslinya, 24 jpl x empat minggu. Demikian pula dengan seorang tenaga honorer.  Masih beruntung, kalau ASN mah dapat gaji bulannannya sudah UMR. Namun, mengapa cara penghitungan honornya hanya seminggu, dan tidak empat minggu sesuai jam kerjanya ?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline