Rasanya, ide dan gagasan seperti ini, sudah tidak asing lagi. Artinya, andai Pemerintah melalui Kemendikbud menegaskan bahwa kuliah itu tersier, maka adalah sangat mudah dipahami. Ide itu sangat mudah dipahami, dan alamiah, natural atau biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Terlebih lagi, untuk era sekarang ini. Kuliah, bahkan sekolah pun, tidak wajib !
Dalam dunia pendidikan, gerakan pembebasan masyarakat dari sekolah (Deschooling Society) sudah didengungkan oleh Ivan Illich sejak 1971-an. Suara ini, sangat menggema dan menjalar ke berbagai belahan bumi, termasuk ke Indonesia. Gagasan pokok dari karya ini, tentunya adalah melakukan kritik dan koreksi keras terhadap sistem persekolahan yang tumbuhkembang di dunia Barat saat itu. Bagi kita hari ini, ide dan gagasan deschooling society semakna dengan demokratisasi pendidikan.
Demokrasi pendidikan memiliki makna yang sangat terbuka, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, layanan pendidikan di lembaga pendidikan hendaknya mampu menghargai keunikan dari setiap peserta didik. Posisikan peserta didik sebagai subjek pendidikan, dan bukan objek pendidikan. Posisikan peserta didik setara sebagai manusia, sebagaimana identitas kemanusiaan dari tenaga pendidik itu sendiri.
Sementara di lain pihak, khususnya dari sisi eksternal pendidikan, masyarakat diberi keleluasaan untuk memilih dan menentukan pilihan jalur dan jenjang pendidikannya sendiri. Jalur persekolahan, bukan satu-satunya jalur dan jenis institusi pendidikan. Di luar jalur persekolahan (sekolah sampai kuliah), masih ada dan cukup banyak variasi lembaga pendidikan yang bisa digunakan dan dijadikan tempat belajar bagi peserta didik.
Dalam konteks itulah, maka demokratisasi pendidikan, pada dasarnya adalah bagian penting dari merdeka belajar dan belajar merdeka.
Merujuk pemikiran serupa ini pula, maka adalah keliru dan berbeda dengan spirit kemerdekaan dalam dunia pendidikan, manakala ada satu kewajiban untuk satu jalur pendidikan. Adalah keliru dan tidak tepat, bila setiap warga negara wajib kuliah. Karena pada dasarnya, jika makna kuliah itu adalah harus masuk perguruan tinggi, maka kuliah sudah menjadi instrumen industri atau ekonomi pendidikan. Perkuliahan sudah menjadi instrumen kapitalis untuk memuaskan kepentingan ekonomi sekelompok orang. Tetapi, manakala kuliah diposisikan dan memosisikan diri sebagai alternatif atau optional, maka kebebasan warga negara dan demokratisasi pendidikan, akan sangat mudah terasa dan dirasakan !
Apakah gagasan serupa ini mengkhianati kewajiban negara dalam memberikan layanan pendidikan ?
Tentunya, tidak demikian. Sekali lagi, dan ini tegas disampaikan secara berulag-ulang dalam pemikiran kita. Aspek yang paling pokok dan wajib dipahami itu, adalah, setiap warga negara WAJIB BELAJAR. Sedangkan tempat belajar, bukan hanya di persekolahan atau di kampus perkuliahan ! ini adalah catatannya pentingnya.
Belajar dalam pengertian umum, yakni melakukan perbaikan dan penguatan kompetensi untuk modal kehidupan, adalah wajib, dan negara memiliki kewajiban untuk memfasilitasi warga negara untuk bisa belajar dengan maksimal dan optimal. Sedangkan, sekolah dan kuliah, adalah satu diantara sekian jalur dan jenis pendidikan yang ada dan tersedia di masyarakat.
Lha, bukankah kita pun, tahu, bahwa selain sekolah atau jalur formal, ada yang disebut jalur nonformal atau informal ? bila kita sudah memahami pemetaan jalur dan jenis pendidkan seperti ini, maka jelas dan akan mudah dipahami, bahwa sekolah dan kuliah memang bukan satu-satunya jalur pendidikan. Tetapu sekedar pilihan atau optional saja. Di sinilah, gagasan yang pernah penulis sampaikan pula di Merdeka Belajar, menjadi manusia authentik, atau Daring-Duraring belajar dari Rumah.
Selaras dengan hal ini, maka perlu ditegaskan kembali, belajar adalah kebutuhan dasar, kebutuhan utama masyarakat. Belajar itu tanpa batas usia dan tempat. Tetapi, jika mengartikan kuliah sebagai satu-satunya jalur tempat belajar, maka hal itu, sudah tentu tidaklah tepat.