Lihat ke Halaman Asli

Momon Sudarma

Penggiat Geografi Manusia

Study Tour yang Kaya Wisata

Diperbarui: 14 Mei 2024   17:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber : infobandungkota.com

Tidak salah. Inilah zaman kita hari ini. Saat narasi, muncul tidak hanya dari satu sisi, dan juga tidak didominasi oleh sang pemilik-kegiatan. Pemilik ide atau gagasan, bisa jadi memiliki obsesi dan harapan terhadap sebuah kegiatan, namun sang pengamat, dan komentator bisa mengobrak-abrik ruang-jiwa dan ruang-gelap pikiran yang bisa jadi tersembunyi dari seorang pemilik gagasan. Hal ini adalah fakta-sosial yang terjadi, dan realitas kehidupan kita di abad informasi dan teknologi.

Karena ada peristiwa yang memprihatinkan, khususnya jatuhnya korban kecelakaan kendaraan yang tengah melaksanakan karya wisata, kemudian menjadi konten medsos untuk membincangkan masalah karya wisata atau study tour. Fenomena sudah mudah ditebak, penyelenggara kegiatan atau pemilik ide dan gagasan, akan menjadi bahan perbincangan, dan juga gunjingan, bahkan menjadi aktor viral dalam konten-konten yang berkaitan dengan hal itu.

Persoalannya muncul, akankah kritik dan koreksi itu, atau setidaknya tanggapan dari netizen akan menjadi standar kebenaran dalam menduduksoalkan sebuah masalah ? akankah, suara netizen adalah juga suara Tuhan, sehingga dapat menghakimi dan malah kemudian menggiring nasib dan takdir seseorang yang dibincangkan pada sudut tersalahkan ? 

Sejumlah pengalaman akan menunjukkan realitas yang berbeda. Dalam satu sisi, suara netizen tampak kuasa dalam menggariskan nurani publik. Misalnya saja, pemolisian mahasiswa Unri oleh rektornya,  yang mengkritik kenaikan UKT, kemudian malah dicabut kembali.  Ramainya netizen dalam menyuarakan bobroknya kelakuan oknum di Bea dan Cukai Indonesia, kemudian menghasilkan ada penindakan secara tegas dan hukum oleh pihak berwajib, dan kemudian malah ada juga yang sudah mendekam dalam penjara. Kasus-kasus ini, menunjukkan bahwa suara netizen benar-benar kuasa dalam menghitamputihkan kelakuan oknum yang dianggapnya melanggara hak asasi dan nurani rakyat kebanyakan.

Soalan lainnya, yang berbeda dengan hal itu, muncul pertanyaan, akankah suara netizen itu kemudian tidak direspon oleh pihak berwenang ? tentunya, masyarakat bisa menilai untuk masalah-masalah yang serupa ini. Artinya, jangankan mendengar suara netizen, kendati sudah masuk ke laporan pun, ada juga yang mentah kembali di meja pengadilan, dan kemudian netizen hanya melihat drama-drama pengadilan yang tak berkeadilan.

Senafas dengan hal ini, sejatinya muncul sebuah pertanyaan penting  yang dijawab bersama. Bolehlah untuk disebut sebagai pertanyaan dasar, atau radikal. Pertanyaan itu adalah "apakah suara netizen itu, adalah standar kebenaran, yang mengabaikan narasi atau argumentasi ?" pertanyaan ini, bisa kita alamatkan kepada semua hal yang terjadi di tengah masyarakat kita termasuk saat mengomentari mengenai kegiatan karya wisata atau study tour.

Tentunya kita akan sangat mudah memahami. Emosi publik akan sangat menguat dan mendukung pencabutan jenis model atau teknik pembelajaran di luar kelas, seperti camping, susur sungai, camping, studi lapangan atau karya wisata. 

Mungkin, bila disampaikan demikian, bisa jadi pandangan dari netizen atau publik akan terpecah ke dalam kelompok yang sangat beragam.  Tetapi, pembelajaran di luar kelas dengan nama kegiatan karya wisata atau studi tour, mungkin akan menyerangnya dalam tiga hal penting, yaitu besaran biaya yang dikeluarkan orangtua, pilihan lokasi, dan keamanan di perjalanan. Karena tiga aspek itulah, yang kemudian menyebabkan kritikan kuat terhadap program karya wisata ini begitu sangat kuat dan terasa di media sosial.

Dalam situasi seperti ini, orang seperti saya ini, lebih banyak diam, dan mendiamkan pergunjingan itu terjadi secara alamiah di alam virtual. Mengambil posisi diam, karena karena penjelasan sepotong di medsos, kerap kali malah memancing salah paham, dan dibiarkan apa adanya, untuk jangka waktu tertentu, akan juga dilupakan masyarakat.

 Kita semua tahu, masyarakat kita ini adalah pelupa dan mudah memaafkan. Hanya saja, kelak kalau ada kejadian lagi, akan muncul lagi lebih keras dan kencang daripada sekarang ini. Atau, andaipun dipaksa untuk menjawab soal serupa itu, disampaikan sebagaimana yang terpahami selama ini. 

Persoalan yang ingin disampaikan, kami (penyelenggara layanan pendidikan) berharap, pihak berwajib atau pemerintah, dapat membuat pernyataan dan atau regulasi yang tepat dan operasional, sehingga para penyelenggara kegiatan itu, dapat melaksanakan program pembelajaran sebagaimana misi dan visi pendidikan, tanpa harus ditakuti dikritik oleh pihak lain, yang (maaf) bisa jadi, belum tentu memahami maksud, tujuan, dan persiapan yang sudah dilakukan oleh pihak penyelenggara pendidikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline