Lihat ke Halaman Asli

Momon Sudarma

Penggiat Geografi Manusia

Pemerdekaan Dunia Pendidikan

Diperbarui: 4 Mei 2024   05:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahagia Autentik (sumber : pribadi, bing.com) 

Kisah dan perjalanan kebijakan mengenai Merdeka Belajar, sudah banyak didengar, dilakukan, dan juga diseminarkan, serta disosialisasikan. Kiranya, untuk aspek yang satu ini,  sebagian besar tenaga pendidikan di negeri kita sudah pernah menyimaknya, walaupun mungkin belum semua tenaga  pendidik bisa menjalankannya. Hal terakhir itu bisa terjadi, karena  banyak hal. Satu diantaranya, belum ada kebijakan yang membolehkan lembaga pendidikannya untuk melaksanakan IKM (impelementasi kurikulum merdeka). Hanya beberapa sekolah yang dianggap mampu, dan kemudian ditetapkan Pemerintah untuk menyelenggarakan IKM. Sebagian yang lainnya, belum bisa melaksanakannya. 

Khusus bagi mereka yang sudah pernah merasakan, melaksanakan atau menjalankan Kurikulum Merdeka, memberikan respon  yang beragam. Gado-gado. Asem manis, sangat terasa dan bermunculan dari lisan-lisan tenaga pendidik di negeri kita. Tidak terkecuali, muncul pula, bersamaan dengan peringatan hari pendidikan nasional tahun ini.

Tidak semua orang mau dan mampu berbicara atau membicarakan masalah Kurikulum Merdeka. Mereka mengambil sikap serupa itu, bukan karena tidak mampu, atau tidak memiliki potensi, namun bisa jadi karena khawatir keliru karena belum memiliki  banyak pengalaman dan referensi terkait dengan hal ihwal kurikulum merdeka. Dampak buruknya, adalah menampilkan sikap yang lemah gairah, atau tidak memiliki keseriusan untuk melakukan perbaikan dan kebaikan di dunia pendidikan.

Namun di luar semua hal itu, ada yang unik di negeri ini.  Keunikan itu terjadi, terkait dengan persepsi global di negeri ini. Persepsi yang muncul itu, dunia pendidikan di negeri kita, belumlah menjadi raja dalam pengawalan peradaban dan kemajuan bangsa. Kunci soal pembangunan di negeri ini, masih saja didominasi oleh dua sayap perubahannya, yaitu sayap ekonomi dan sayap politik, dengan penopangnya kekuatan pertahanan dan keamanan.

Dunia pendidikan hanya ramai dibicarakan disaat kampanye. Bahkan untuk kampanye politik pun, ide dan gagasan kependidikannya kadang sangat klasik, sekolah gratis, makan gratis, susu gratis, kesejahteraan guru, dan sejenis itu semua. Semuanya tampak dilihat dari sudut ekonomi. Andaipun ada yang disebut politik, dijanjikan dengan pengangkatan guru honorer dan sejenis lagi. Namun, jelas-jelas, bahwa kedua hal itu, masih merupakan ranah ekonomi maupun politik (eh, politis), yang bisa berubah di setiap saat, sesuai dengan syahwat-politik penguasanya.

Sementara bagi penyelenggara pendidikan, lembaga pendidikan mulai dari pendidikan pra sekolah sampai perguruan tinggi, kerap kali sekedar komoditas ekonomi. Seiring selaras dengan perubahan karakternya, dunia pendidikan di era ini memang sudah menjadi industri jasa, khusus dalam industri pendidikan. Karena kegairahan libido inilah, maka kemudian muncul dan berkembang kebijakan-kebijakan pendidikan yang  memosisikan peserta didik atau orangtua siswa (masyarakat) sebagai sasaran kepentingan ekonomi lembaga pendidikan. Menaikkan UKT (Uang Kuliah Tunggal) atau nama lain dari SPP dan DSP, begitu marah dan memancing kontroversi di tengah masyarakat. Satu sisi, hasrat penyelenggara pendidikan untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan, di sisi lain peningkatan UKT menyebabkan masyarakat tertekan, baik ekonomi maupun psikologisnya.

Dalam konteks inilah, rasanya, sudah selayaknya, tema besar hari pendidikan nasional itu, bukan sekedar merdeka belajar, atau merdeka  mengajar, melainkan pemerdekaan dunia pendidikan.

Gerakan Pemerdekaan Pendidikan dimaksudkan, memosisikan dunia pendidikan bukan sekedar sebagai objek politik atau objek  materi penyelenggara pendidikan, namun diposisikan sebagai batu pijak dan landasan untuk kebangkitan bangsa dan negara ini. Tentunya, kesadaran serupa ini, tidak bisa sekedar menjadi bagian dari retorika kita semua, melainkan perlu dijadikan sebagai kesadaran kolektif seluruh bangsa Indonesia.

Andai saja, masalah pendidikan itu sekedar pergantian kurikulum di setiap ganti rezim, dan tanpa dilandasi filosofi yang tanggung selaras dengan nilai-nilai Pancasila, maka yang ada adalah mengutak-atik nasib bangsa Indonesia disesuaikan dengan kepentingan sesaat para pemilik modal.

Sekali lagi, isu mengenai ganti baju seragam, atau utak atik mata pelajaran Agama dalam konteks kurikulum, akankah hal ini dilandasi oleh pemikiran radikal mengenai karakter bangsa Indonesia ? atau lebih sekedar menyeleraskan hasrat-kapitalis dengan tarikan investasi ke dalam negeri ? andai saja, hal kedua menjadi bagian dari kesadaran kolektif para penyurun kebijakan pendidikan, maka jelas dan tegas sudah, bahwa pendidikan di negeri kita, bukanlah subjek kebijakan pembangunan, tetapi masih diposisikan sebagai objek pembangunan.

Dalam konteks inilah, maka pemerdekaan dunia pendidikan menjadi sebuah keniscayaan !!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline