Ah, ini pengalaman kecil pribadi. Keluarga kecil di sebuah kota kecil di ujung Kota Bandung. Lebaran sudah berlalu. Mudah sudah dilakukan. Bahkan, terjebak arus balik pun sudah dirasakan. Pokoknya, paket komplit untuk lebaran tahun, sudah dirasakan banget. Salah satu yang tersisa saat ini, adalah hidup berkeluarga kembali. Dengan anggota keluarga inti di kota.
Saat itu, hari keempat dan kelima. Sudah berada di kota kembang lagi. Hidup alamiah seperti sedia dulu kala, sudah mulai di rasakan lagi. Kebutuhan makan dan minum siang hari, dan aktivitas di siang hari. Hal yang membedakannya apa, "belum ada yang jualan, maaf, kita harus masak sendiri..?" itulah pesan moral pagi hari yang disampaikan istri.
Pengalaman ini mungkin banyak dirasakan banyak orang. Setidaknya, ada dua atau tiga kategori orang yang dipaksa untuk masak sendiri.
Pertama, keluarga kota yang ditinggalkan asisten rumah tangga. Asisten rumah tangga itu, ada yang mudik, dan ada pula yang cuti. Intinya mereka tidak hadir di rumah, dan kemudian seluruh pekerjaan kerumahtanggaan harus dilakukan oleh sang pemiliknya. Situasi seperti ini, memaksa anggota keluarga untuk masak sendiri.
Itulah lebaran effect!
Hal yang lebih buruk, Asisten Rumah Tangga (ART) yang mudik bercengkrama dengan sesama profesi yang lainnya, atau dengan profesi lainnya di kampung halaman. Hasil dari obrolan itu, kemudian mengubah persepsi sang ART. Pada ujungnya, tidak balik lagi ke kota atau ke tempat kerjanya. Dalam situasi seperti ini, sang pemilik rumah akan dipaksa panik, dan kemudian harus mencari ART pengganti lainnya.
Perubahan sikap terhadap seseorang, akibat adanya interaksi antara orang dan desa pun, adalah salah satu dari lebaran effect!
Kedua, anggota keluarga dipaksa masak, karena memang belum ada yang jualan di luar rumah. Sejumlah rumah makan, atau warung makanan, yang biasanya menawarkan jualan siap saji, baik sayuran maupun pangan yang lain, dalam beberapa hari selepas lebaran hampir dipastikan belum beroperasi. Sama serupa dengan yang lainnya, mereka pun masih ada di kampung halaman.
Alasan mereka berlama-lama di kampung halaman, mungkin alasannya sama, 'pedagang yang lain pun, masih mudik, jadi gak bisa jualan dulu..'. Celakanya, dengan pola pikir serupa itu, konsumen yang mengandalkan jasa mereka menjadi terganggu, salah satu dianatranya adalah keluarga-keluarga kota yang mengandalkan sumber-bahan pokok dari kelompok mereka itu.
Bagi mereka yang berpikiran positif. Kondisi serupa itu, akan memberikan sesuatu yang baru. "anak-anak, mari cobain masakan Ayah.." ungkapnya, sambil ketawa kecil, walaupun tahu diri, tetapi memiliki harapan besar mendapat pujian dari anggota keluarga. Situasi serupa itu, menjadi bagian dari seru-seruan diantara keluarga untuk bisa mandiri, dan melatih hidup mandiri terhadap anggota keluarga.