Gagal paham. Setidaknya itulah, ungkapan yang bisa terlontarkan, di saat kita melihat gejala paska lebaran atau idul fitri. Hari ini, mungkin baru satu atau dua hari saja, selepas Ramadhan berakhir. Suasana lebaran, masih sangat terasa dan dirasakan oleh banyak orang. Setidanya, suasana di jalanan, arus balik kendaraan masih tampak. Kemacetan di jalan, untuk beberapa hari terakhir ini, diduga dan dialamatkan sebagai indikasi adanya arus balik masyarakat Indonesia, yang tempo hari pulang ke kampung halaman.
Lha, mereka itu pulang ke kampung halaman. Apakah pulang ke kampung halaman atau biasa disebut mudik, adalah ciri dari jiwa nan fitri (fitrah) sebagaimana yang di khutbah dari atas mimbar idul fitri ?
Entahlah.
Memangnya, apa dan kenapa dengan istilah fitri itu sendiri ?
Sekedar iseng. Saya mencoba mencari arti fitri atau fitrah dalam bahasa Indonesia. Cara yang mudah, sudah tentu mencarinya di jejaring internet. Di sanalah kita temukan, kamus bahasa Indonesia. Pada kamus Bahasa Indonesia, kata fitri atau fitrah, mengandung makna, "sifat asal; kesucian; bakat; pembawaan ".
Dari sinilah. Kita menemukan makna fitrah. Kita beruntung dan bisa paham, maksud dan tujuan dari pengkhutbah, yang mengatakan bahwa selepas melaksanakan ibadah shaum Ramadhan selama satu bulan penuh, seorang muslim diibaratkan menjadi pribadi yang bersih, suci seperti halnya seorang manusia bayi yang baru lahir. Inilah yang disebut manusia fitri, atau manusia suci, sebagaimana asal karakter manusia.
Ibadah shaum (puasa) Ramadhan, yang selama satu bulan penuh dilaksanakan, merupakan momen latihan dan penyucian. Seorang muslim yang beribadah selama satu bulan penuh, mengalami dan menjalani proses pembersihan diri, atau penguatan karakter positif, sehingga menjadi pribadi yang bersih dan suci, atau pribadi nan-fitri. Ramadhan menjadi 'lembaga pembinaan' karakter para pelakunya, menuju pribadi unggul dan mulia, atau biasa disebut taqwa.
Tetapi, aduh, kadang gagal paham lagi. Setidaknya, melihat fakta dan gejala faktualnya, ternyata makna fitrah (fitri), bukan sekedar suci atau bersih, melainkan sifat asal dan pembawaannya. Kembali ke fitrah, semakna dengan kembali ke sifat asal atau sifat pembawaannya.
Lha, memangnya ada masalah apa dengan istilah sifat asal dan pembawaannya itu ?
Di sinilah problemanya. Pada kamus Bahasa Indonesia itu, tidak dijelaskan waktunya. Demikian pula, para pengkhotbah kadang khilaf menjelaskan konteksnya, atau mungkin kita yang tidak mengerti maksud dan konteks penjelasannya tersebut. Sehingga kita hahal paham, sifat asal yang kapan, dan pembawaannya yang kapan yang menjadi rujukan 'pengembalian karakter manusia itu ?"
Marilah kita simak dan cek kembali. Saat seorang pengkhutbah mengatakan, bahwa di masa idul fitri ini, "seseorang akan kembali ke jiwa yang fitri, atau sifat asalnya, atau sifat pembawaannya, atau bakat aslinya..". Masalahnya, mengapa tidak disebutkan waktunya ? sifat asli yang kapan, bakat yang kapan, atau pembawaannya yang kapan ?