Alhamdulillah. Terima kasih. Beruntung. Good luck.
Itulah kira-kira sejumlah ucapan yang bisa dilontarkan, saat Indonesia mampu membungkam ketangguhan timnas Vietnam dalam laga lanjutan babak kualifikasi Piala Dunia 2026, Zona Asia. Kemenangan yang luar biasa, dan menurut data, mampu mendongkrak posisi atau peringkat Timnas Sepakbola Indonesia dalam rangking FIFA. Dari peringkat ke-142 pada Januari 2024, Indonesia kini berada di posisi 134 ranking FIFA.
Luar biasa. Itulah, setidaknya ungkapan euporia pecinta olahraga sepakbola saat ini. Bisa dipastikan, semua orang, semua pihak, mendoakan, semoga trend ini terus berlanjut sampai puncak prestasi yang bisa diraihnya. Sekali lagi, terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penguatan kualitas timnas Sepakbola Indonesia, terkhusus kepada pemain timnas.
Untuk kita saat ini, kita sudah cukup. Cukup untuk mengulas, kebanggaan dan kesuksesan timnas kali ini. Hal yang perlu dijadikan sebuah narasi baru, atau narasi-negasinya, adalah melihat gejala naturalisasi pemain sepakbola sebagai sebuah kritik dan koreksi. Mengapa hal ini perlu disampaikan di sini, dan saat ini, disaat kita sedang merayakan kemenangan sementara dalam perjalanan timnas sepakbola kita ?
Sekali lagi, tanpa mengurangi rasa hormat dan bangga kita kepada timnas sepakbola, khususnya pesepakbola naturalisasi ini, namun kita pun patut untuk menjadikannya sebagai kode keras terhadap proses kaderisasi atau pembinaan sepakbola di dalam negeri.
Lebih dari 10 orang pesepakbola kita, adalah naturalisasi. Bahkan, jumlah pesepakbola naturalisasi ini, akan jauh lebih banyak lagi, bila digabungkan dengan mereka yang tidak terpanggil ke timnas kali ini. Jumlah ini, sudah tentu lebih dari cukup untuk membentuk sebuah timnas yang bisa berlaga di kancah internasional, minimalnya dalam skala regional ASEAN atau ASIA. Namun hal yang perlu dikedepankan sekarang ada dua pilihan.
Pilihan pertama, harus berani berkata tegas, bahwa PSSI masih belum mampu melakukan pembinaan sepakbola nasional di dalam negeri secara optimal. Setidaknya, hal ini dapat dilihat dari potret postur TIMNAS yang banyak diisi oleh pemain naturalisasi. Jika fenomena timnas kali ini, dapat dijadikan sebagai standar permainan atau standar kualitas, maka mau tidak mau, kehadiran TIMNAS kali ini adalah teguran besar dan teguran keras terhadap pengelola tim sepakbola di seluruh wilayah Indonesia.
Pilihan keduanya, andai saja, dapat dikatakan bahwa belum ada pengelola kecabangan sepakbola di dalam negeri yang berkualitas, maka mau tidak mau harus berani melakukan pembinaan sepakbola anak usia dini di luar negeri. O, iya, maaf, maksudnya, belum banyak klub sepakbola yang melahirkan pemain bola yang hebat. Hal itu, setidaknya, pebola lulusan dari klub sepakbola kita masih sangat terbatas. Maka dari itu, kelihatannya usulan yang kedua ini, dapat dijadikan sebagai pilihan penting dalam rangka melahirkan atlet sepakbola yang berkualitas.
Ah, mungkin ada yang mengatakan bahwa teknik seperti itu, sangat mahal. Lebih baik mendatangkan pelatih sepakbola kelas dunia untuk bisa hadir di Indonesia. Pilihan seperti ini, mungkin lebih murah daripada mengirim calon atlet ke luar negeri. Tetapi, pilihan terakhir ini, sudah biasa, dan kita sudah biasa melihat pelatih berlisensi "A", dipinggir lapangan persepakbolaan kita. Kelihatannya, menghadirkan pelatih berkualitas, sangat lambat melahirkan pemain unggulan.
Wah, tulisan ini, seakan merendahkan agenda pembinaan dalam negeri ? ada komentar yang lebih pedas lagi, pengamat bola bukan, pakar bola bukan, kok memberikan komentar serupa itu !
Dalam hal ini. Pikiran kita, khususnya penulis, sebenarnya memberikan tanggapan dan komentar ini, lebih dilandasi oleh rasa cinta terhadap bola. Itu saja. Sebab, bila tidak suka bola atau tidak mencintai bola, untuk apa membicarakan hal seperti ini. Namun karena ada setitik rasa cinta itulah, maka perhatian ini ditumpahkan hari ini di sini.