Salah satu fenomena unik di bulan suci Ramadhan, adalah munculnya tradisi ngabuburit. Istilah 'ngabuburit' diserap dari bahasa Sunda. Dalam bahasa Sunda itu sendiri, kata ngabuburit berasal darikata dasar 'burit' senja. Dengan tambahan imbuhan depan (prefix) pengulangan suku kata 'bu', ditambah dengan imbuhan depan (rarangken) aktif (nga), sehingga kata 'ngabuburit' mengandung makna 'proses seseorang menunggu senja' (jelang maghrib).
Dengan memahami makna dasar itu, maka ngabuburit secara sederhana dapat diartikan kegiatan menjelang sore hari yang dilakukan umat Islam (Indonesia) sambil menunggu tiba waktu azan maghrib. Atau istilah lain, kegiatan menunggu tiba waktu buka puasa di bulan suci Ramadhan.
Terdapat banyak kegiatan yang dilakukan umat Islam, dalam kegiatan ngabuburit ini. Kegiatan-kegiatan tersebut, pada umumnya adalah kegiatan sporadic, atau tidak diatur atau dikendalikan oleh seseorang. Kegiatan tersebut, lebih merupakan inisiatif perorangan atau kelompok saja.
Secara geografi manusia, melihat perkembangan budaya ngabuburit ini, setidaknya, dapat dikenali dalam beberapa karakter yang menarik.
Pertama, kegiatan ngabuburit cenderung dilakukan secara kolektif. Jumlah orang ngabuburit, bisa 2 orang, ataupun lebih. Jarang atau bahkan dapat disebut tidak ada orang yang melakukan ngabuburit dilakukannya sendirian. Seorang muslim yang ngabuburit, akan melakukannya secara bersamaan.
Kedua, kelompok ngabuburit dilakukan dengan ragam jenis. Ada yang menggunakan komunitas gaul (socialita), kelompok kelas, sesama jenis kelamin, atau berkeluarga. Mereka akan membuat kelompok khusus, saat melaksanakan kegiatan ngabuburit. Maka dari itu, tidak mengherankan bila kemudian ada kelompok Perempuan atau kelompok lelaki saja, yang melaksanakan ngabuburit.
Ketiga, lokasi ngabuburit memanfaatkan fasilitas umum (public facilities), seperti alun-alun, pasar Ramadhan, atau tempat wisata. Pasar Ramadhan dan fasilitas umum yang diubah dan berubah menjadi lokasi ngabuburit, menjadi pilihan utama peserta ngabuburit.
Andaipun ada sebagian yang memanfaatkan destinasi wisata, dalam konteks ngabuburit, umumnya memanfaatkan destinasi wisata yang memiliki jarak dekat. Wisata di sekitar lingkungan rumah, menjadi pilihannya.
Tidak jarang pula, bersamaan dengan momentum Ramadhan, kadang muncul dan destinasi baru yang menjadi primadona tempat ngabuburit. Destinasi itu, tidak harus menyajikan objek wisata yang mendunia. Sepanjang lokasi itu bisa dipakai istirahat, ngobrol dan melupakan rasa haus dan dahaga, maka lokasi dimaksud bisa menjadi primadona tempat ngabuburit. Sewaktu di kampung, lokasi yang ramai dijadikan tempat ngabuburit itu sekedar jembatan (irigasi) yang baru diresmikan, dan kemudian dilokasi tersebut ada lapangan rumput yang dijadikan tempat istirahat atau duduk-duduk sambil ngobrol.
Keempat, sekaitan dengan masalah lokasi ngabuburit, akomodasi ngabuburit, lebih banyak menggunakan fasilitas jalan kaki, naik kendaraan roda dua. Ada sebagian yang menggunakan roda empat, namun jumlahnya terbatas. Pilihan kendaraan ini, ada kaitannya dengan lokasi ngabuburit yang merupakan destinasi-wisata Ramadhan dadakan yang tidak jauh dari tempat tinggal.
Kelima, ngabuburit bukan menjadi tujuan. Ngabuburit adalah masa penantian tiba waktu azan maghrib atau waktu buka puasa. Isi kegiatannya, bisa berkisar dari memburu makanan takjil di Pasar Ramadhan, jalan-jalan santai, olahraga ringan, bercengkrama, atau melepas Lelah dan kepenatan dengan komunitas.