Lihat ke Halaman Asli

Momon Sudarma

Penggiat Geografi Manusia

Lapar Menjadi Luka, Luka Tak Lapar

Diperbarui: 24 Februari 2024   04:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baru berdekatan badan (sumber : pribadi, bing.com) 

"aku merasa lapar...?" ujar seorang warga kota, yang tersimpuh di pinggir jalan. Dia tampak kotor dalam penampilan, baik baju atau kulit tubuhnya. Lusuh dan kotor, seakan menjadi bagian tak terpisahkan, untuk jangka waktu yang tidak sebentar. Entah berapa lama, dia merasakan hal itu, dan entah sampai kapan dia akan merasakannya. Hal yang pasti, sampai detik ini, disaat kita bertutur seperti ini, dia masih setia menunggu kaum dermawan lewat dan menunjukkan simpati terhadapnya.

"aku lapar...?" sebuah kata yang ditunjukkan sekedar untuk menunjuk pada perutnya yang kosong. Kosong ibarat drum, hanya udara yang menjadi penghuni di dalamnya. Perut agak membuncit, bukan karena nutrisi, melainkan gas-busuk yang setiap saat akan dikeluarkannya.

"Aku lapar.." ucapnya lagi. Hingga aku harus berhenti sesaat dihadapannya. Ah, bukan untuk memberikan sesuatu kepadanya. Aku berhenti sekedar untuk merenung dan menyentuh rasanya.

Dalam benakku terbersit, "kau merasakan lapar fisik, namun sejatinya, kita semua dahaga kedermawanan. Kita kekosongan simpati dan empati. Kita mengalami kelaparan-jiwa kemanusiaan.."  Suara hati, yang entah kenapa muncul sesaat waktu ada dihadapannya, dan juga terbesit untuk tertambat dalam jiwa. Walaupun kemudian, bilih qalbu yang sebelah berbisik, "kau membicarakan diri sendiri, atau berbicara pada diri sendiri ?" Pertanyaan, yang kuanggap lalu, dan tidak jadi perhatian serius saat itu. 

Kita semua paham dan tahu, nukan tidak ada manusia mampu. Dunia ini, tidak sepi dari orang berilmu tinggi, dengan harta setinggi langit. Dunia ini tidak pernah kosong dari orang-orang yang memiliki kekayaan bergentong-gentong. Namun, entah mengapa, sepi dari orang empati, malah nyaris banyak diisi oleh orang songong.

"Sahabatku, kau lapar biologis, tapi pikiranku sekarang lapar kesadaran..." Aku tidak sendiri, aku tidak berdua, aku pun tidak bertiga. Aku berdiri di depanmu, dan berjalan menghampiri mu, tetapi semuanya sekedar angin yang berhembus, tak meninggalkan jejak. Andaipun ada jejak, hanyalah ibarat tornado yang menyisakan sampah dan reruntuhan. Sementara kau di situ, masih juga tetap mengungkapkan kata, "aku lapar.."

"ku bertanya pada mu, apa lagi yang kau rasakan ? " tanya dengan penuh kebodohan dan ketololan. Sebuah pertanyaan yang menunjukkan diri kepongahan dalam rasa.

Dia terdiam, dan hanya menggerakkan mata dengan sangat galak. Matanya, seakan bicara, "emang harus  ku ucapan dengan tegas ?", bentaknya, "tidakkah matamu melihat kenyataan hidup?" ungkapnya, sambil berbicara banyak dan juga memberikan tunjukkan-tunjukkan baru sebagai contoh dari orang-orang yang ada di sekitarnya. Dengan gaya itu, seakan dia ingin mengatakan, bahwa pertanyaan itu, amat sangat keterlaluan. Sangat terlalu.

Betul. Persoalan hidup hari ini, mata tidak pernah berkoordinasi dengan hati. Mata lebih banyak masuk dalam rasionalisasi di pikirannya, tetapi tidak didalami dalam hati. Hingga, banyak hal yang bisa dilihat, namun sedikit hal yang terhayati, mengenai arti hidup dan kehidupan. 

Perlukah semua hal harus diceritakan ? 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline