Seorang anak, masih ingusan dalam ukuran kematangan moral, tapi sudah berani menunjukkan jati diri dan harapannya. Saat itu, mengajukan sebuah pertanyaan, "apakah anak seusia kami tidak boleh memiliki rencana pasangan hidup ?"
Pertanyaan mendasar, dan menyasar rasa dan perasaan. Sebuah pertanyaan, yang seakan mengusik kesadaran, dan bahkan, sikap hidup yang dibangunnya selama ini.
Betul. Pertanyaan itu, bukan sekedar ketidaktahuan. Pertanyaan juga, bisa menguji, dan dimaksudkan untuk meneguhkan.
Bukankah Ibrahim bertanya, pada Tuhan, "bagaimana kau hidupkan burung yang sudah mati ?" pertanyaan itu, bukan karena ketidakpercayaan, melainkan dimaksudkan untuk mengukuhkan benih keimanan yang ada dalam hati.
Saat seorang anak bertanya pada ibunya, "apa ibu sudah masak?" bukan menunjukkan keraguan, melainkan sebuah kesadaran terkait keyakinan adanya cinta tulus ibu yang selalu setiap menyiapkan makanan buatnya. Di sinilah, sebuah pertanyaan.
Saat anak-anak belia bertanya, "apakah anak seusia kami tidak boleh memiliki rencana pasangan hidup ?", maka yang dimaksudkan itu adalah Upaya sadar dan pentingnya pengakuan kepada semua pihak, akan keberadaan cinta yang tulus dalam setiap insan.
Namun apa yang dimaksud dengan kalimat, rencana hidup dan rencana pasangan hidup ?
Bila terkait dengan rencana, maka hal itu, sekedar ada dalam sebuah kesadaran, dan atau pengetahuan belaka. Sebuah kesalahan fatal yang dilakukan, manusia, saat mengatakan rencana hidup, namun dalam kenyataannya malah menunjukkan sikap dan Tindakan.
Rencana itu ada dalam benak. Rencana ada dalam pikiran, pun, juga bis dalam rasa. Nilai sebuah rencana, bergantung pada aksi atau perbuatannya. Setiap perbuatan bergantung pada rencana atau niatnya. Niat yang baik, melahirkan kebaikan, baik bagi diri maupun lingkungannya, walaupun mungkin tidak dilakukan.
Rencana buruk akan menyebabkan keburukan, bila dilakukan, dan tidak berdampak buruk bila tidak jadi dilaksanakan, Tetapi, rencana buruk yang diulang-ulang, melahirkan keburukan terhadap rasa, dan pola pikir.