Betul. Bila ada yang berpendapat, kampanye caleg jadi sepi. Kampanye caleg di negeri kita ini, tertutupi oleh hiruk pikuknya Pilpres dan seluruh tahapan Pilpres. Hampir dipastikan, masyarakat lebih fokus pada pilpres dengan seluruh tahapannya. bahkan, tidak jarang euporia yang terjadi di tengah masyarakat adalah menanti idolanya tampil dalam forum-forum resmi. Sementara, kampanye caleg sepi. dari hingar bingar pesta politik lima tahunan.
Apakah sikap masyarakat serupa ini baik ?
Tentunya, kita tidak berharap demikian. Tentunya, kita berharap, masyarakat tetap proporsional memberikan perhatian yang sama, kepada pemilu calon legislatif. karena, keterpilihan mereka pun, akan sama menentukan masa depan bangsa Indonesia ini, dan juga nasib rakyat Indonesia.
Setidaknya ada lima alasan, mengapa pemilu caleg menjadi sepi. Pertama, mau tidak mau, diakui atau tidak, citra pilpres memang jauh lebih menggairahkan dibandingkan dengan pilleg. Hal ini, tidak bisa dipungkiri dan ditolah. Setidaknya, faktualnya sampai saat ini, pilpres lebih heboh dibanding dengan pilleg.
Kedua, pilleg tidak memiliki ruang politik terbuka di ruang publik. Jika pilpres ada debat capres/cawapres, untuk konteks pilleh kita tidak memliki ruang seperti ini. Sehingga, masyarakat pada umumnya, sulit untuk tertarik dengan urusan pilleg.
Lha, bagaimana caranya menyelenggarakan debat caleg ? bukankah jumlahnya ratusan, bahkan bisa ribuan bila dihitung sampai pada DPRD Kabupaten/Kota dan DPD ? iya juga, ribet juga menyelenggarakannya. Tetapi, andai pun hendak dilakukan, setidaknya, ada debat caleg antar partai, sehingga gagasan partai secara umum dapat dikenali oleh masyarakat. Sayangnya, untuk sampai pada level ini pun, belum dilaksanakannya.
Ketiga, KPU pada level tertentu, misalnya di Kabupaten/Kota, tidak memainkan peran lebih sekedar administrasi belaka. KPU benar-benar hanya penyelenggara pelaksanaan pencoblosan, tidak lebih dari itu. Artinya, manakala KPU mampu memanfaatkan media sosial yang berkembang saat ini, maka kesulitan sebagaimana disampaikan pada point kedua ini, dapat dieliminasi secara lebih terbatas, yakni dengan menyelenggarakan debat caleg pada level kabupaten/kota dengan platform media sosial.
Keempat, kenapa ngotot banget perlu ada debat caleg ? pertanyaan yang relevan dan perlu didiskusikan. Karena sejatinya, caleg itu adalah elit politik yang akan mengandalkan nalar dan retorika dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Berbeda dengan kepala daerah, yang perannya adalah melaksanakan program atau mewujudkan visi dan misi. Para caleg ini dituntut untuk memiliki kemampuan penalaran, logika atau narasi yang jauh lebih baik dibanding eksekutif.
Dengan alasan seperti itu, maka adalah wajar, jika tuntutan publik kepada pola penalaran dari calon anggota legislatif, harusnya lebih tinggi dibanding kepada kepala daerah atau presiden. Karena, jabatan yang terakhir itu, adalah jabatan manajerial dan eksekutor terhadap ragam peraturan perundangan yang sudah ditetapkan legislatif.
Berdasarkan pertimbangan itu, menjadi kelihatan lucu, jika rakyat menuntut kepala daerah bisa retorika, sedangkan kepada calon legsilatif, dibiarkan diam apa adanya. Lahir dari sebuah kebisuan, berkembang dengan kebisuan, dan bertugaspun masih dalam kebisuan. Jangan-jangan karena pembiaran seperti inilah, maka calon anggota legislatif itu, memang terbiasa diam, dan tidak terbiasa retorika dan kritis dengan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.