Bagi seorang tenaga pendidik, membuat pertanyaan, atau membuat soal sudah biasa. Di jenjang pendidikan manapun, seorang tenaga pendidik sudah terbiasa, membuat soal atau pertanyaan. Bukan hanya guru PAUD, SD atau SMA, tetapi juga bagi mereka yang sudah terbiasa mengajar di perguruan tinggi, atau biasa disebut akademisi.
Sekedar informasi, memang betul. Membuat soal itu, gampang-gampang susah. Di sebut susah, sebenarnya gampang juga. Karena mungkin, orang mengatakan, asal bertanya, dan membuat kalimat dengan kata tanya, maka itu sudah tercapai. Misalnya, apa itu ? untuk apa itu ? atau mengapa itu ? kenapa harus itu ? dan lain sebagainya. Bukankah anak kecil pun, lebih banyak bertanya daripada menjawab ? bukankah kejadian itu menunjukkan bahwa bertanya itu, adalah sesuatu yang sangat mudah untuk dilakukan, daripada menemukan jawaban dari sebuah pertanyaan ?
Memang demikian, dan memang demikian adanya. Sepintas lalu, membuat pertanyaan itu sangat mudah dilakukan. Tetapi, bila dikatakan bahwa membuat pertanyaan itu gampang, apakah iya demikian ? ternyata tidak demikian adanya. Mengapa ?
Pertama, banyak mahasiswa atau siswa yang sedang belajar di kelas, mengalami kesulitan untuk membuat pertanyaan dihadapan dosennya. Bagi mereka yang tidak terbiasa berdialog, sulit membuat pertanyaan kepada sesama pembelajarnya.
Kedua, ada persepsi, bahwa kebiasaan bertanya menunjukkan tingkat kecerdasan. Orang yang suka bertanya, dianggap kurang cerdas dibanding dengan orang yang tidak suka bertanya. Akibat persepsi itu, orang takut bertanya, dan tidak akan berusaha bertanya, walau dalam diri dan pikirannya, banyak hal yang tidak dimengerti atau belum dipahaminya.
Seiring sejalan dengan pemikiran itu, muncul pemahaman bahwa orang yang bisa bertanya, menunjukkan dia paham (setidaknya) sebagian masalah yang tengah dipelajarinya, dan kemudian menemukan ada sisi yang belum jelas yang masih perlu digali. Sehingga dengan kata lain, semakin kritis orang, semakin tajam dalam bertanya, semakin cerdas orang semakin kritis dalam menyusun pertanyaan atau pernyataan.
Dengan demikian, apakah kecerdasan seseorang, dapat dilihat dari kemampuannya menyusun sebuah pertanyaan yang baik ? untuk soal yang satu ini, silahkan pembaca renungkan sendiri. Namun untuk sekedar pembandingnya, bentuk pertanyaan adik kita di PAUD, akan berbeda dengan teman kita yang sudah duduk di bangku SLTA atau di perkuliahan.
Nah, pada saat kita membuat sebuah pertanyaan, kita pun perlu bijak, mengapa diberikan ruang waktu tertentu. Misalnya, dalam aplikasi AI (Artifical intelligence), bing.com, seorang pengguna diberi ruang sampai 480 karakter untuk membuat prompt (perintah), sehingga dapat ditafsirkan lebih mendekati keinginan si pengguna. Sementara, dalam aplikasi Leonardo.ai, lebih leluasa lagi. Seorang pengguna AI aplikasi ini, diberi keleluasaan sampai 1000 karakter.
Apakah jika pernyataan atau pertanyaan disusun dalam 100 kata, tidak bisa dikerjakan oleh Ai tersebut ? tentunya, bisa, dan sangat bisa dilakukan. Tetapi, mungkin, hasil yang dimunculkannya, jauh dari yang diharapkan. Namun, bila disampaikan dengan perintah (prompt) yang rinci dan leluasa, maka masalah yang diinginkan dapat dijawab oleh Ai dengan lebih baik, dan mendekati harapan.
Sehubungan hal ini, maka kita pun, boleh bertanya atau lebih tepatnya "bertanya-tanya", mengapa seorang kandidat capres/cawapres diberi kesempatan 1 menit (60 detik) untuk membuat pertanyaan bagi kandidat lain ? apakah, waktu itu terlampau lama atau terlampau pendek ?