Saat berdebat, pertanyaan yang kerap muncul, adalah "kalau bicara, kamu harus ingat, kita ini bangsa Timur, harus tahu sopan dan santun?"
Bahkan, tidak kalah menariknya juga, yang kemudian memberikan komentar kritis terhadap sikap emosional dari peserta debat. Ada yang pro, dan ada pula yang kontra. Ada yang menganggapnya biasa, dan ada pula yang menilainya sebagai sesuatu yang keterlaluan.
Adab ketimuran, kerap dijadikan dalil, khususnya dulu di zaman Orde Baru, terkait pentingnya mengedepankan adab dan kesantunan dalam melakukan kritik atau koreksi. Sehingga kemudian, menyebar ide atau gagasan mengenai pentingnya 'kritik yang membangun", "kritik yang tetap menjaga adab", "kritik yang bertanggungjawab", atau kalimat lain yang sejenis dengan itu.
"ingat, kita bukan orang Barat, bukan orang liberal, yang bicara sesuka hati.."
Ah, bisa jadi, masih banyak istilah lain, yang biasa dan dibiasakan muncul sebagai kritikan balik kepada seseorang yang suka menjadi kriik. atau lebih praktisnya, kepada seseorang yang memosisikan diri sebagai oposisi kepada pemerintah, penguasa atau pimpinan di perusahaan.
Seseorang yang kemudian dianggap melanggar terhadap etika yang ditetapkan sepihak oleh penguasa itu, kemudian dijadikan landasan untuk mengeliminasi orang dari lingkaran 'kekuasaan' atau kelompoknya. Dalam bahasa birokrat di era otoriter, orang yang melanggar aturan itu, kalau tidak bisa "DIBINA", ya,'DIBINASAKAN" kewenangannya.
Lanjutan dari kondisi inilah, kemudian memancing pemikiran, bila demikian adanya, apakah ada yang disebut geografi-kritik ? apakah benar, bahwa budaya kritik itu berbeda antara satu daerah dengan daerah lain ? atau, apakah ruang-budaya yang satu memiliki pengaruh nyata, terhadap kualitas dan karakter kritik ? atau lebih tepatnya, apakah kondisi geografi mempengaruhi pada budaya kritik. sehingga orang menyebutnya kita ini adalah orang Timur, dan mereka adalah orang Barat, atau kita ini orang Selatan mereka adalah orang Utara, maka jaga kesantunan dalam berbicara ?
Tanpa harus menjawab langsung, terjadap sejumlah pertanyaan tadi, bagi mereka yang menyaksikan acara debat Presiden yang pertama, akan mendapatkan pengalaman intelektual yang unik, mengenai kemampuan berdebat.
Diakui atau tidak, mereka yang memiliki pengalaman dalam dunia akademik, bahkan, dapat dikategorikan sebagai akademisi, akan memiliki keajegan intelektual, dan pola pikir yang sistematis. Hal ini, bisa jadi, adalah hal biasa, dan karena terbiasa di dalam kampus. Rasanya, mereka-mereka yang memiliki pengalaman akademik dan pengalaman intelektual yang mumpuni akan mampu menunjukkan hal serupa ini.
Berbeda halnya, dengan mereka yang dibesarkan dalam dunia politik. Politis praktis, akan berbeda dengan pakar politik. Pakar politik kemampuan analisis yang mendalam, akan terasa sangat kuat. Sedangkan politisi praktis akan memainkan pengalaman praktis sebagai politisi sebagai dalil argumentasi, dan kemampuan retorika dalam menuturkan sebuah narasi.