Di tengah masyarakat, masih terdapat kesalahpahaman, atau ketidakpahaman terhadap satu istilah. Saat, seseorang atau sejumlah kelompok orang tidak paham, terhadap satu masalah itu pun, kemudian, ada segelintir elit, baik itu elit politik maupun elit media massa dan elit media sosial memanfaatkan kebodohannya. Pertemuan antara kepentingan sesaat kaum elit dengan ketidakpahaman publik, maka akan terjadi satu eksploitasi massal untuk kepentingan kekuasaan.
Satu diantara, sekian masalah yang tengah dihadapi oleh kita sekarang ini, yakni konsep debat. Debat calon presiden dan calon wakil presiden. Secara konseptual, istilah debat adalah sesuatu yang menarik. Karena dalam debat, ada isu bersama, yang mendapat perhatian bersama, dan masih memiliki posisi-intelektual yang terus diperbincangkan. Istilah lain, yang agak sedikit setara dengan konsep ini, yaitu kontroversial.
Isu kontroversial dapat diposisikan sebagai isu yang menarik, yang bisa digunakan untuk memancing sebuah perdebatan. Sedangkan, isu yang tidak kontroversial, ya sudah pasti, tidak akan memancing perdebatan. Karena itu, kendati judul kegiatan kita adalah debat, tetapi isu-isunya tidak memancing perdebatan, maka kegiatan itu, tidak akan mengarah pada penguatan tradisi debat.
Bagi sebagian orang, kegiatan debat, apapun namanya kegiatan dan peserta kegiatannya, tidak akan menjadi seksi, bila kemudian tidak membincangkan masalah yang kontroversial. Karena, pembicaraannya akan menjadi datar, bahkan cenderung homogen serta monoton.
Aspek yang kedua, proses debat (debating) akan terjadi, manakala ada dua orang atau lebih yang memilliki karakter berpikir atau perspektif yang berbeda. Dengan modal ideologi atau kepentingan yang berbeda, maka akan lahir komunikasi intelektual yang dinamis, khususnya saat membincangkan satu masalah yang dianggapnya isu sensitif dan seksi.
Menjadi tidak menarik, jika sebuah perdebatan dihadiri oleh sepuluh atau seratus orang sekalipun, tetapi nalar dan ideologi, searah kepentingannya searah. Komunikasi intelektual yang terjadi, akan lebih menyerupai paduan suara, bukan orkestra musik. Fenomena paduan suara, yaitu nada sama, syair sama, dan tinggi rendah sama, hanya akan berbeda fungsi dalam intonasi saja.
Tema, upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Bila tema ini, diangkat jadi materi perdebatan, dan bila salah-salah mengajukan pertanyaan, yang ada adalah forum diskusi paduan suara. Diskusi yang terjadi, paling saling melengkapi gagasan, untuk menemukan solusi dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Lain cerita, bila tema itu kemudian dikemas, menjadi tema "meningkatkan 100 % UMR di seluruh kawasan Indonesia". Isu kedua ini, kiranya akan menjadi lebih dinamis dibandingkan dengan tema yang pertama. Setidaknya, dengan isu seperti ini, kandidat yang berasal dari pengusaha, atau pendukung pengusaha, atau yang didukung oligarki akan alergi dengan kenaikan upah ini, sedangkan mereka yang mendapat dukungan dari rakyat kecil, akan berusaha memperjuangkan untuk merealisasikanya.
Tidak kalah pentingnya lagi, yaitu hadirnya kubu-kubu pemikiran. Karena debat tidak akan terjadi, bila tidak ada kubu pemikiran. Kalau semua kandidatnya adalah 'anak dari sang sutradara', maka acaranya debat, tetapi yang terjadi adalah curhat atau ngerumpi. Mengapa bisa terjadi demikian ? ya, karena peserta yang terlibat adalah budak dari sutradaraya yang membuat skenario acara tersebut.
Sehubungan hal ini, maka muncul kembali pertanyaan tadi, apakah acara debat kandidat itu bisa menarik perhatian publik, atau lebih jauhnya meningkatkan elektabilitas kandidat? jawabannya, bisa cair.