Bagi orang-orang yang ada di sekitarnya, sering dibuatnya aneh. Aneh banget. Bukan hanya sekali, tetapi dalam beberapa kasus, sering memberikan keterangan, bahwa secara fisik, dirinya tidak mampu menjalankan tugas profesinya sebagai tenaga pendidik. Misalnya, mengajar di kelas yang berada di lantai 2. Kadang juga, bila kedapatan, mengajar di kelas yang jarak-geografinya cukup berjauhan, misalnya satu kelas di ujung Barat kampus, dan satu kelas lagi di ujung Timur kampus. Bila kejadian itu terjadi, dia langsung mengatakan, "saya agak kurang fit, sakit pinggang, syaraf kejepit saya, kambuh.." ungkapnya.
Bila berhadapan dengan alasan serupa itu, teman-teman yang lainnya, tidaklah bisa banyak bicara, dan tidak banyak argumen, kecuali harus meng-iyakan, dan memberikannya dispensasi. Andaipun, tidak diiyakan, dia akan tetap melakukan apa yang dia inginkan, seperti memindahkan kelas, atau malah, tidak masuk sama sekali. Oleh karena itu, pilihan pahitnya, ada meng-iyakan, supaya dia tetap mau mengajar dengan gayanya sendiri.
Lha, lantas apa masalahnya dengan kita ?
Di sinilah, problemanya. Sekali lagi, kita dibuatnya heran. Kalau terkait dengan masalah tugas profesi, kerap kali mengajukan alasan sakit untuk meminta pengertian dan dispensasi kepada teman-teman, dan atau atasannya. Tetapi, kisah itu, tidak terjadi, atau jarang dimunculkan, bila ada kaitannya dengan kegiatan yang dia sukai.
Tempo hari, saat ada Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Warga Indonesia ramai merayakannya dengan ragam kegiatan olahraga tradisional, misalnya tarik tambang. Orang yang satu ini tidak, memaksa panitia dan teman-temannya untuk memaklumkannya supaya bisa ikutan. Alasannya, "hiburan, supaya hatinya ceria, dan tidak stress dengan sakit yang dideritanya..."
Belum lama ini, kalau tidak salah, di awal November kemarin. Saat teman-temannya, melakukan study tour atau studi tiru ke kawasan Jogjakarta. Dua atau tiga hari sebelumnya, baru cek ke dokter, dan memberikan surat sakit ke pihak kedinasan. Namun di hari itu, dia dengan semangat dan suka cita, melakukan perjalanan jauh dari Bandung ke Jogjakarta. Di perjalannya gimana ? sehat dan ceria. Semua orang berucap, "alhamdulillah.."
Tidak kalah menariknya lagi, hari ini, dengan sangat meyakinkan, sehari kemarin, masih ada berita, bahwa dirinya sakit dan masuk rumah sakit. Dari pemberitaannya sangat serius, karena diumumkan di grup media sosial kelompok kedinasan. Namun, apa yang terjadi kemudian ? ternyata, hari ini, dengan tegas menyatakan diri, bisa ikut wisata ke Pangandaran.
"waduh.. kok bisa..?" celetuk beberapa temannya yang lain, "gimana nanti di sana ? kenapa harus memaksakan diri ?" namun demikian, sejumlah pertanyaan dan kekhawatiran itu, kemudian dibantah oleh pengalaman rekan-rekan lainnya, yang turut menyaksikan keasyikannya di perjalanan ke Jogjakarta tempo hari.
"semoga saja, menjadi bagian dari therapi ceria, untuk bisa sehat.." tutur pendamping pengalamannya, beberapa waktu lalu.
Menyimak perjalanan dan pengalaman sahabat kita yang satu ini, saya jadi teringat, sebuah teori dalam sosiologi kesehatan. Ada perbedaan antara disease (penyakit) dengan ill (sakit). Kalau penyakit sifatnya objektif, seperti demam, infeksi pada luka, tergores, dan lain sebagainya. Semua itu adalah fakta fisik atau objektif. Sedangkan, sakit adalah fakta subjektif, yakni bagaimana respon diri kepada penyakit yang dideritanya.