Lihat ke Halaman Asli

Momon Sudarma

Penggiat Geografi Manusia

Pandemi di Zona Aman, Bukan Zona Nyaman

Diperbarui: 15 Agustus 2020   13:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Siapapun, rasanya perlu, dan harus mencoba untuk keluar rumah. keluar dari zona nyaman. Apapun posisi dan kegiatan kita. Usahakan, menyempatkan diri untuk sekedar keluar, sekedar untuk jalan-jalan menghirup udara yang beda, di luar rumah kita.

Seperti yang kita rasakan selama ini. Diam di rumah. Tinggal di rumah. kerja di rumah. Ibadah di rumah. Beraktivitas di rumah. Singkat kata, semua dapat dan harus dilakukan di rumah. Selama ini pula kita jalani dan kita alami. hampir bisa dikatakan, sebelum kita merasakan hal ini, kita akan merasa sangat sendang dan bangga untuk bisa tinggal 24 jam di rumah.

Nyatanya ?!  faktanya ?!  

Tidak jarang, di media sosial, dalam obrolan sehari-hari, kehidupan yang dibatasi dan terbatas dalam ruang lingkup sangat kecil, adalah sesuatu yang tidak menyenangkan. Kendati tinggal di rumah sendiri, kita merasakan, bahwa situasi itu amat sangat tidak menyenangkan. Begitulah, ilustrasi kehidupan bahwa kendati rumah bisa disebut sebagai Zona Aman, tetapi ternyata menjadi zona yang tidak nyaman.

Kalangan manajemen memublikasikan prinsip dasar hidup, bahwa di zona nyaman itu tidak Aman. Tidak Aman. Karena dengan tinggal di zona nyaman, ternyata menyebabkan kita beku, kaku dan stagnasi, dan bahkan menyebabkan kita tidak peka terhadap situasi yang terjadi di lingkungan kita.

Hari ini, saya merasakan hal itu, pengalaman bertugas, atau mengajar di sekolah kota, dengan status negeri, sejumlah masalah sudah bisa diatasi. setidaknya, masalah itu, cukup mampu diminimalisir. Baik dengan cara berkomunikasi dengan pemerintah, komite dan ataupun orangtua. Selama ini pula, masalah-masalah yang terjadi selama BDR (belajar dari rumah), seperti keterbatasan komputer, akses dan ataupun kuota, sudah bisa diatasi, kendati tidak seratus persen, tetapi bisa diminimalisir kualitas masalahnya.

Hal ini, berbeda cerita dengan kalau kita mengajar di sekolah yang ada di daerah pinggiran kota. Istilah pinggiran ini, saya maksudkan adalah sekolah yang berada diantara transisi masyarakat, dari ekonomi menengah ke bawah. Sekolah-sekolah pada kelompok ini, memiliki masalah yang cukup jelimet dan kompleks.

"kita akan menggunakan pertemuan virtual ya, .." tawarku, "supaya kita bisa shilaturahmi dulu, karena kita ini, kan belum pernah bertemu sebelumnya..."

Pertanyaan itu dilontarkan dengan maksud untuk mendapat respon dari siswa. harapan sebagai sebuah harapan, tetap terpancang, kendati harus menghabiskan cukup banyak waktu menunggunya. 

"Boleh, Pak..?! salah seorang siswa memberikan jawaban, dan saya pikir sebagai perwakilan dari siswa yang lain, "tapi mungkin, tidak semuanya bisa, karena kehabisan kuota..!"

Dengan penjelasan itu, saya pikir, pernyataan itu adalah sebagai bentuk usulan, dan maka kemudian, saya coba alihkan ke media yang lain. Maksud dan tujuan akan memanfaatkan Whattsapp. Beberapa detik kemudian, muncul lagi, pesan singkat dari orang yang berbeda, 'saya wali siswa dari ananda, mohon izin tidak bisa ikutan WA, karena kuotanya tak cukup..?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline