Lihat ke Halaman Asli

Momon Sudarma

Penggiat Geografi Manusia

Jokowi Marah, Siapa yang Gundah?

Diperbarui: 1 Juli 2020   06:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Antara/Puspa Perwitasari

Jokowi Marah, reshufle mengancam. Rasanya, ini bukan masalah penting bagi masyarakat saat ini. Andaipun, hendak dianggap penting, dan masyarakat perlu peduli, peka dan perhatian terhadap peristiwa ini, adalah lebih melihat pada kelanjutan dari harapan Presiden itu sendiri. 

Lha, emangnya apa masalahnya dengan kemarahan Jokowi, lantas kita tidak boleh perlu berbaik sangka kepadanya?

Dalam istilah kita, anak yang cenderung terpapar anak gaul, saat Jokowi Marah, emang siapa yang gundah? benarkah, kemarahan Presiden adalah bentuk dari kemarahan rakyat, atas kegagalan para pembantunya menuntaskan masalah pandemic? ada yang mencoba menganalisis lebih jauh, kemarahan Jokowi akan memancing kegundahan sebagian pembantunya, yang bisa terancam reshufle. Benarkah demikian?

Rakyat perlu sadar, dan tahu duduk persoalannya. Masalah pandemic Covid-19, hanyalah satu soal, dalam menguji kinerja. Andaipun mau dianggap demikian. Sementara hal pokok dari persoalan pemerintahan itu, adalah kekuasaan. Kita semua tidak boleh abai dengan situasi, kondisi dan psikologi politik serupa ini.

Artinya, bolehkah kita mengartikan bahwa moment reshufle itu bukan sebuah momen-ilmiah dalam kaitannya dengan peningkatan kinerja pemerintahan? jawabannya, bila terkait dengan pemerintahan dan kekuasaan, setidaknya kita tidak perlu demikian. Lebih halus, jangan terlalu dianggap murni dalam berpikiran serupa itu.

Harapan Jokowi, untuk melakukan pembaharuan, atau reshufle  guna penyegaran dan atau peningkatan kinerja sebagai evaluasi para pembantunya dalam menangani pandemic COvid-19, patut diapresiasi. Rasanya, itu adalah penting untuk dilakukan, dan wajar untuk dijalankan oleh seorang Presiden, manakala melihat hasil kinerjanya yang kurang memuaskan.

Tetapi, pada sisi lain, ada situasi yang tidak boleh diabaikan. Dalam sejarah kekuasaan kita, reshufle kerap diwarnai oleh 'periode pergantian jatah kekuasaan'. Sejumlah mitra koalisi yang belum mendapatkan 'kue kekuasaan', mendapat giliran dari fase ini, atau malah akan menjadi moment koreksi terhadap mitra koalisi yang ternyata tidak solid atau tidak loyal terhadap kekuasaan.

Nah, apakah dugaan ini lebih sekedar omongan dipinggir jalan?

Rasanya, kita tidak boleh abai dengan pandangan dan kritikan serupa ini. Kekuasaan adalah kekuasaan. Keajegan kekuasaan adalah kebutuhan untuk kepastian jalannya roda pemerintahan. Sementara koalisi pun adalah koalisi, hasil kinerja di perjalanan adalah aspek penting yang akan menentukan kelanjutan dari koalisi tersebut.

Bila asumsi ini bisa dipegang, maka harapan masyarakat terhadap figur baru yang diharapkan bisa menyelesaikan masalah-masalah kebangsaan hari ini, akan menjadi pudar. Lenyap diterpa angin ambisi kekuasaan.

Dari pemikiran seperti ini, sejatinya, kemarahan Presiden ini, malah melahirkan kegundahan baru bari rakyat. Gundah, karena khawatir, andai ada pergantian menteri pun, lebih diwarnai sebagai bagi-bagi kekuasaan, dan bukan menyelesaikan masalah kebangsaaan.

Semoga tidak begitu!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline