Lihat ke Halaman Asli

Momon Sudarma

Penggiat Geografi Manusia

Amin-Luhut Saling Sandera, Mitos atau Realitas?

Diperbarui: 22 Maret 2018   09:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(merdeka.com)

Ada ungkapan menarik, bila kita memperhatikan konflik antara Amin Rais, dengan Luhut Binsar Panjaitan. Pada beberapa berita dinyatakan, "Bahkan, Luhut mengaku mengetahui rekam jejak Amien Rais. Dia pun meminta  Amien Rais untuk diam bila tidak ingin 'dosa'nya diungkap."

Pertama, kita menenggarai bahwa setiap politisi mengetahui jejak rekam politisi yang lainnya. Ini adalah pengetahuan wajar, dan mudah dipahami. Sesama politisi satu listing atau sat periode, atau satu profesi, dipastikan mengetahui rekam jejak dari rekan-rekan yang lainnya.

Adalah wajar seorang pengusaha, pasti mempelajari rekam jejak pengusaha lainnya. Seorang guru, belajar mengenai rekam jejak guru yang lainnya. Demikian pula, dengan seorang politisi dengan politisi yang lainnya.

Kedua, ada 'kode etik" yang dimiliki oleh sesama profesi. Kode etik ini, sudah tentu bisa bermakna positif, dan juga bermakna negatif. Untuk makna positifnya, sesama anggota profesi harus menjaga nama baik profesi itu sendiri. Tetapi, dalam pengertian negatif, kode etik melahirkan solidaritas-korp untuk membela sesama profesi secara buta. 

Jika ada rekan profesi mengalami masalah, solidaritas korp, mampu melahirkan kekompakkan untuk saling membantu, mendukung, termasuk membela diri.

Ketiga,  melalui pernyatan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman ini, kita mendapatkan informasi bahwa mereka itu saling memahami, saling memaklumi, dan saling 'mengerti'. Meminta diam kepada lawan politik, seolah memberikan gambaran bahwa 'rahasia bisa dibongkar kalau tidak bisa diam".

Pernyataan itu menggugah kesadaran kita, setiap politisi memiliki dosa. Dosa-dosa politik itu sudah saling diketahui. Bahkan, kemudian, dengan pengetahuan atau informasi dosa politik itu, seseorang bisa menggunakannya untuk menyerang lawan politiknya.  Sehingga lawan politik bisa diam dan tidak berkutik. Atau dengan kata lain, dengan politisasi dosa masa lalu, seseorang bisa menyandera lawan politiknya supaya DIAM.

Berdasarkan pertimbangan itu, apakah memang saling sandra dengan rekam jejak masa lalu sebagai kartu trup, merupakan 'kotak pandora' budaya politik elit kita saat ini.? 

 Inilah yang kita pandang sebagai budaya politik yang harus dikritisi oleh semua pihak.

Andai negeri ini, diisi oleh politisi yang tersandera oleh masa lalu, dan lawan politiknya, maka dinamika politik negara kita tidak akan sehat. Karena ujungnya, hanya satu "saling mengerti".

Setiap manusia memiliki kelemahan atau dosa. tetapi, apakah politisasi dosa ini, menjadi satu strategi untuk meredam kritik atau melanggengkan kekuasaan kita ?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline