Lihat ke Halaman Asli

Benci Menjadi Benih Cinta

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Saat itu aku masih duduk di bangku SMA. Tepatnya pada waktu kelas X IPA1, aku sering berjumpa dengan seorang pria yang sangat menyebalkan namun dia istimewa. Jujur saja aku memang sempat mengagumi pria tersebut.

Pada masa itu aku merasakan sesuatu yang aneh dalam hatiku. Tapi, aku tak menyadari perasaan yang aneh itu. Sering sekali aku berjumpa dengannya. Dia pun selalu memberikan senyuman padaku. Namun, aku selalu cuek dan jual mahal. “Maklumlah aku kan perempuan, hehe...”. pikirku. Aku tak begitu mengenal pria tersebut, karena dia adalah kakak kelasku. Aku mencari tahu siapa namanya pada temanku yang sekelas dengannya. Maklumlah masa remaja begitu penuh dengan rasa penasaran.

Pria itu bernama Amin. Dia kakak kelasku yang duduk di bangku kelas XI IPA1. Tadinya, aku memang sempat mengaguminya. Namun, seiringnya berjalan waktu semua malah terbalik. Rasa kagumku terhadapnya pudar. Aku pun malah membencinya karena dia selalu membuatku kesal.

Awalnya, dia sering sekali menggodaku. Setiap bertemu, dia pasti selalu meledekku. Hatiku sering kesal karena kelakuannya yang selalu membuatku marah. Ketika pada suatu hari, aku terkejut melihat dia berjalan seperti mendekatiku. Aku melihat sesuatu ditangannya. Ternyata benar, ada sesuatu ditangannya. Sepucuk bunga yang sudah layu dan diremas-remas olehnya. Dilemparnya bunga tersebut kearahku dan melayang mengenai wajahku. Aku sangat kaget dan marah. Aku pun menatapnya penuh dengan benci. Dan aku pun berkata “Kurangajar banget sih kamu jadi cowok! Dasar tidak punya sopan santun sama sekali!” ucapku yang penuh kesal. Amin menatapku sambil tersenyum dan dia terus berjalan seperti seseorang yang tidak mempunyai rasa bersalah.

Kuusap keringat dan sisa kembang yang mengotori wajahku. Setengah berlari, kuayun langkah menuju ruang kelas sambil memendam rasa kesal dan sedih yang ada di benakku. Kududuk di kursi yang kosong mengingat kejadian tadi, sambilku berfikir “Kenapa dia begitu tega?” dalam hatiku bertanya-tanya. Aku kaget ketika ada seseorang yang menepuk pundakku. Seorang perempuan yang berdiri di belakangku dan menepuk pundakku dia adalah Iis, sahabatku. “Kenapa kamu Ris, ko melamun sih? Apa kamu ada masalah?” ucapnya sambil menatapku dengan penuh tanya. Aku mengarah kepadanya dan kuceritakan semua kejadian yang kualami tadi sambil mengelus dada dan menangis.

Air mataku yang menetes membasahi pipiku, “Apa ya Is salah aku sama dia? Padahal aku sama Amin itu tidak saling kenal, meskipun kenal juga itu hanya sekilas dan hanya sebatas tahu nama saja. Tapi mengapa, setiap dia bertemu denganku kelakuannya seperti itu?” sambil tersedu-sedu kuangkat tangan mengarah kewajahku, dan kuusap air mata yang membasahi pipiku. Iis yang menemaniku dan menenangkan hatiku, agar aku tidak bersedih lagi. “Sudahlah Ris, tidak usah difikirkan.” menatapku sambil tersenyum. “Mungkin dia itu sebenarnya ingin mengenal kamu lebih dekat, namun caranya itu salah jadinya dia bersikap seperti itu.” Iis merangkulku sambil menepukkan tangannya dan mengusap-usap kebahuku.

Hari berganti hari, dan bulan pun berganti bulan. Akhirnya menjelang kenaikan kelas. Satu tahun telah kulewati di masa SMA, rasa bahagia karena telah duduk di bangku kelas 2. Dan aku pun mempunyai prinsip “Semoga di kelas 2 ini aku bisa meraih nilai yang lebih baik lagi dari nilai-nilaiku yang sebelumnya, amin.” Setelah kuucapkan kata amin, entah kenapa aku langsung teringat dengan pria itu. Pria yang bernama Amin yang selalu membuat hatiku kesal. “Apa mungkin setelah lama tidak berjumpa dengannya karena liburan sekolah aku jadi teringat dia?” batinku. “Tapi tidak mungkin, aku kan benci sekali sama dia!” Aku menyangkal fikiran itu dengan kalimat membantah. Tetapi aku teringat ucapan orang, “Jangan terlalu membenci seorang pria, sebab benci itu bisa menjadi cinta.” namun, tak ku hiraukan ucapan itu.

Saatku berjalan menuju ke arah kantin sekolah bersama sahabatku Iis, aku melihat Amin disitu. Dia ada di samping kantin. Ternyata, dia juga melihatku, dia memanggilku dan seakan-akan menyuruhku untuk mendekatinya. “Ris, sini?” Amin memanggilku sambil melambaikan tangannya. Entah mengapa kaki ini tergerak melangkah menuju ke arah dia yang berdiri tegak di samping kantin sekolah. Tanpa kusadari, disitu ternyata banyak teman-temannya. Aku dan Iis menghampirinya, “Ada apa, kenapa kamu memanggil aku?” kalimatku yang penuh tanya dan aku menatapnya sekilas, lalu melemparkan tatapanku ke arah teman-temanya. Satu persatu kulihat mereka. “Tidak ada apa-apa, lagian siapa yang memanggil kamu!” jawabnya sambil tertawa. Perkataannya itu begitu membuat aku terkejut. Aku kaget dan marah saat dia menjawab seperti itu, dia seperti mempermalukanku di depan teman-temannya. Rasanya hatiku seperi  “Bagai di iris dengan sembilu.”

Tanpa bicara aku dan Iis membalikkan badan dan tanganku menyeret tangan Iis agar secepatnya meninggalkan tempat itu. Kulanjutkan langkahku menuju kantin bersama Iis dan ku duduk di kursi dalam kantin sambil mengelus dada dan menepiskan napas. Seperti yang kuduga. Amin hanya ngerjain aku saja. “Lihat kan Is, Amin sama sekali tidak punya niat baik ke aku!” perkataanku yang penuh dengan rasa kesal. Iis mengambilkan satu gelas air putih dan menyuruhku untuk meminumnya. ”Sabar Ris, jangan berfikiran negatif dulu.” Ucap Iis yang berusaha meredakan amarahku. “Bagaimana mungkin hati ini bisa lebih bersabar setelah dipermalukan seperti tadi! Bukan sekali dua kali tapi sudah berkali-kali dia membuatku kesal. Ini sudah yang kesekian kalinya dia berperilaku seperti itu dan sengaja membuatku marah.” Aku menjawabnya dengan penuh kesal dan menggelengkan kepala. Setelah itu, aku pun terdiam sejenak. “Astagfirullahhalazim, salah apa aku sama dia? Sampai-sampai dia sering ngerjain aku dan membakar amarahku?” dalam hatiku yang selalu penuh tanya .

Esoknya, aku berjalan menuju ruang kelas XI IPA1, yaitu sebuah ruang kelas dimana aku ditempatkan untuk bisa belajar dan menimba ilmu di SMA. Tidak jauh letak kelasku dengan kelas Amin. Letaknya, hanya melewati beberapa ruang kelas saja. Tidak sengaja aku bertatap muka dengannya, tetapi aku mengalihkan arah tatapanku kearah lapangan basket, karena aku tak’ ingin melihatnya. Amin mendekati aku, tatapannya seperti seseorang yang menyesali kesalahannya. Dia tersenyum tipis, dan dia seperti tegang saat berdiri di hadapanku. Tapi aku menampakkan wajah yang penuh dengan rasa kesal, benci dan kecewa. Saat itu aku yakin, Amin mendekati aku pasti dia ingin minta maaf atas semua kesalahan-kesalahannya yang dia perbuat ke aku. “Ris, ada waktu tidak?” dengan wajah yang begitu seriusnya, “Tolong ya, nanti kita ketemuan di kantin?” perkataannya dengan sikap yang tegang penuh keringat dan mengajakku untuk ketemuan. Tapi aku diam saja dan tanpa sepatah kata pun aku berucap saat dia bicara begitu. Aku pun pura-pura tak’ mendengarkannya. “Aku kira dia mau minta maaf!” batinku. Aku meninggalkan Amin dan melanjutkan langkahku untuk masuk ke ruang kelas dengan wajah yang penuh kejutekan dan cuek.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline