Berkumpul bersama dengan orang-orang disabilitas membuat kita tersadar. Bahwa bahagia itu sederhana. Dibalik kekurangan yang dimiliki, ternyata tersimpan kelebihan. Sebuah hal yang tampaknya tak begitu disadari oleh non disabilitas. Perjuangan mereka sepanjang hidup membuktikan bahwa manusia memiliki rezekinya masing-masing. Tak mudah memang, tapi tak ada alasan untuk menyerah.
Satu minggu ini saya rutin melakukan kunjungan ke Panti Sosial Bina Daksa (PSBD) "Budi Perkasa" Palembang. Ini adalah tempat di mana para disabilitas daksa muda dididik dan dilatih untuk menjadi mandiri. Mereka dibekali pelatihan berbagai keterampilan selama kurang lebih 3 bulan. Tidak hanya itu, mereka juga diminta untuk dapat bersosialisasi dengan sesamanya dan masyarakat sekitar. Makanya para disabilitas tersebut diinapkan dalam asrama di lingkungan panti sosial.
Saat berkunjung ke sini, saya banyak menemukan insight baru. Bahwa ternyata saya tidak sendirian dan bukan satu-satunya disabilitas daksa. Berkunjung ke sini saya mendapat suntikan semangat. Jujur saja selama 3 bulan belakangan ini, saya cenderung dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Saya membutuhkan motivasi baru agar bisa menjalani kehidupan dengan baik. Seringnya saya merasa hidup saya stagnan saja.
Di sini saya bertemu dengan tiga orang ibu yang ketiganya sama-sama menggunakan kursi roda. Mereka bernama ibu Heridarti, ibu Ariani, dan ibu Romdiana. Ibu Ariani dan Ibu Romdiana sendiri saudara kandung. Ibu Romdiana adik dari ibu Ariani. Sementara itu ibu Heridarti adalah disabilitas daksa yang berprofesi sebagai PNS yang juga seorang ibu dari dua orang anak. Ketiganya alumni dari PSBD.
Lahir di Sumatera Barat, Ibu Heridarti bercerita awal mula disabilitas karena sakit yang diderita sejak kecil. Beliau yang susah berjalan terpaksa harus menggunakan tongkat kayu untuk bisa beraktivitas sehari-hari. Barulah ketika beliau merantau ke Palembang saat masih remaja, dia mengenal alat bantu kruk. Ibu Heridarti pun menjalani pendidikan di PSBD saat menginjak usia remaja. Dia mengambil keterampilan menjahit dan diperbantukan di dapur panti sebagai tenaga honorer.
Saat di panti, ibu Heri menjalani operasi kaki. Tempurung lututnya diambil, sehingga kaki sebelah kirinya hanya bisa lurus. Tak lagi bisa menekuk. Di sana, ibu Heri menjalani pendidikan kesetaraan hingga jenjang SMP. Kesulitannya saat ibu Heri bila harus naik mobil. Ia harus menyesuaikan diri dengan kakinya yang tak lagi bisa menekuk tersebut.
Hidupnya berubah saat memasuki era Presiden SBY. Ibu Heridarti pun diangkat menjadi PNS. Dia lalu menikah, dan menjadi ibu dari dua orang anak. Anak pertamanya lelaki kini sudah duduk di kelas 3 SMP. Dikarenakan kondisi fisiknya, ibu Heri melakukan operasi sesar untuk melahirkan kedua anaknya.
Ternyata ujian tak cukup sampai di situ. Oktober tahun lalu, ibu Heri sempat terjatuh. Kakinya yang sebelah kanan patah sehingga harus menjalani operasi pemasangan pen. Mungkin dikarenakan usia menua, ibu Heri pun tulangnya mudah keropos. Padahal kaki kananlah satu-satunya tempat tumpuan Ibu Heru untuk berdiri. Sejak saat itu, ibu Heri jika keluar rumah menggunakan kursi roda.
Lain cerita Ibu Heri, lain pula cerita ibu Ariani. Ibu Ariani berasal dari Baturaja, Kabupaten OKU. Beliau tinggal di panti sosial sejak tahun 1974. Ibu Ariani dan adiknya Ibu Romdiana penyandang polio sejak kecil. Dinas sosial terlebih dahulu menemukan Ibu Ariani dan direkomendasikan untuk tinggal di asrama PSBD Palembang. Sejak saat itu, Ibu Ariani sekeluarga pindah ke Kota Palembang.
Pada tahun tujuhpuluhan itu, Ibu Ariani bercerita lingkungan PSBD tak semegah sekarang. Dulu jalannya masih tanah, dan fasilitasnya pun masih kurang memadai. Saking sepinya, dia mengibaratkan panti sosial masih tempat jin membuang anak. Di sini Ibu Ariani dan adiknya menjalani keterampilan menjahit.