Palembang, Juli 2017
Senja itu, aku memasuki kompleks pemakaman Kamboja. Nisan-nisan berwarna warni berjejer tak beraturan. Suasana teduh langsung memerangkapku dalam diam. Puluhan pohon kamboja berdiri kokoh bagaikan penjaga. Beribu orang terbaring kaku disana, entah ada berapa jumlahnya. Mereka dulunya hidup. Mereka juga punya keluarga. Seberkas kenangan yang hanya bisa hadir di mimpi menyeruak di pikiranku.
Sejurus kemudian aku sudah berada di samping sebuah kuburan. Marmernya berwarna hitam. Sebuah tulisan yang terpahat di sana membuatku meneteskan air mata. Kala aku mengingatnya, perasaan pilu yang sama kembali hadir.
Selalu sama seperti saat pertama kurasakan dulu. Namun kini aku hanya bisa mendoakan dari jauh. Sebait Al-Fatihah untuk sosoknya yang kini tenang berada di pangkuan Allah SWT.
Kata-kata terakhir itu menjadi kenyataan. Aku sedih, tapi aku bisa apa. Toh sekeras apapun usahaku takkan membawanya kembali. Berusaha untuk ikhlas, aku mengingat senyuman terakhir yang terulas di wajahnya sebelum ia dikafankan.
Palembang, Ramadhan 2013
Pagi itu, Mangcak Yasin tergopoh-gopoh menghampiriku. Hari itu aku ingat masih hari Jumat. Di tangannya sudah tergenggam laptop sebesar 14 inchi. Seperti biasa ia ingin memintaku untuk mengedit draft khutbah Jumat dan mencetaknya. Berhubung di rumah Mangcak tidak memiliki printer.
Dengan cekatan aku memainkan kursor di laptop berwarna hitam tersebut. Aku membagi teks sepanjang 6 halaman itu menjadi dua bagian per halamannya. Lalu kuedit secara cepat, berusaha untuk memastikan tidak ada kesalahan ketik disana. Terakhir yang kutahu sejurus kemudian draft khutbah itu sudah berubah menjadi lembaran-lembaran kertas berbentuk seperti buku.
"Yo, yo, (Ya, Ya,) " Mangcak Yasin mengangguk-angguk ketika aku memberikan yang ia mau. "Mokase, Moi (Makasih, Moi)"
"Samo-samo (Samo-samo)" Aku tersenyum.
Lalu aku dan Mangcak Yasin kembali bergabung dengan Ayah dan Ibu duduk-duduk di beranda depan rumahku. Kalau tak puasa, aneka penganan kecil seadanya biasanya terhampar di lantai. Mangcak Yasin itu kakak kandung ibuku. Rumahnya hanya sekian meter jaraknya dari rumahku. Di kampungku, ia terkenal sebagai ustadz. Ia selalu menyambangi rumah kami setiap Jumat pagi untuk sekadar berbincang atau menuntaskan hajatnya untuk mencetak draft khutbah.