Lihat ke Halaman Asli

Firsty Ukhti Molyndi

Blogger | Korean Enthusiast | Cerebral Palsy Disability Survivor

Kala Romantis Tak Harus Lewat Sentuhan Fisik!

Diperbarui: 4 Juni 2018   14:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Source: cahayaislam.id

Berbicara soal romantisme keluarga, sebetulnya membuat Molzania kesulitan. Pasalnya keluarga inti Molzania sendiri jauh dari kata romantis. Boro-boro seperti oppa dalam drama Korea, ayah Molzania cenderung pendiam. Sangat pendiam malah. Sifat pendiamnya ini mewarisi sifat yang dimiliki kakek Molzania.

Tak pernah terucap gombalan dari mulut ayah untuk mama. Atau puisi-puisi maut penuh rayuan. Pun tak pernah ada hadiah atau kado berpita pink untuk mama. Hari-hari berlalu tanpa terasa. Bagaikan tak pernah ada.

Dipikir-pikir, ayahku lebih mirip zombie kalau di rumah. Sehari-hari sibuk kerja jadi kuli tinta. Sementara itu, mama Molzania orangnya supel. Benar-benar mirip nenek. Mama memilih untuk menekuni bisnis rumahan membuat roti. Ia terbiasa bergaul dengan ibu-ibu pengajian dan menghadiri arisan ini dan itu.

Sifat mereka berdua memang bertolak belakang, bukan? Tak jarang karena perbedaan tersebut membuat keduanya kerap beradu mulut. Bahkan pada hal-hal yang terkesan sepele. Meski tak lama kemudian, keduanya justru berbaikan.

Ada saja yang membuat mereka bertengkar. Entah soal pakaian, atau barang yang hilang karena kelupaan ditaruh. Biasanya jika mereka bertengkar, mama mengomel seharian penuh. Sedangkan ayah larut dengan tulisannya di depan komputer. Tanda ayah sedang kesal, bibirnya maju beberapa centi. Melihat ayah seperti itu, mama malah bertambah sebal.

Entah apa yang membuatnya dulu bisa bersatu dalam ikatan pernikahan. Kalau bukan karena Allah sahaja yang menetapkan jodoh, mungkin keduanya tak saling mencintai. Jika pernikahan keduanya masih langgeng hingga saat ini, semuanya terjadi karena kehendak Yang Maha Baik.

Kalau ada diskusi keluarga, mama selalu bersemangat. Merencanakan setiap hal dengan begitu mendetail. Semua harus terlihat sempurna. Ayah hanya mendengarkan saja. Hanya sesekali menimpali. Bila rencana yang tadi tak berjalan dengan mulus, mama biasanya mengomel pada Ayahku.

Meskipun tampaknya saling kesal, tapi ayah dan mama selalu ingat hari-hari penting keluarga. Misalnya hari jadi pernikahan mereka berdua. Atau hari lahir keduanya atau anak-anaknya. Jika sudah ingat, mama dan ayah pun tampak akur. Seolah-olah mereka kembali ke masa lalu. Mereka tertawa satu sama lain. Meski yang banyak tertawa, tentu adalah mama.

Pernah Molzania bertanya pada mama. Apa yang membuatnya jatuh cinta pada Ayah? Dijawab karena ia dulu semasa masih mahasiswa, sering bertemu ayah di masjid. Disana ayahku sering menyendiri sembari bertilawah dengan merdunya. Diam-diam mama suka mendengarkan. Ketika adzan dzuhur tiba, ayah menjadi muadzin di masjid universitas.

Memang ada satu kebiasaan yang tak pernah hilang dari ayah. Setiap bulan puasa tiba, jikalau ia di rumah, ia rutin mengajak kami anak-anaknya mengaji bersama. Satu bulan penuh puasa, kami diwajibkan khatam Al-Qur'an oleh ayah. Semasa SD, Ayah sendiri yang mengajarkan kami huruf demi huruf hijaiyah. Tak lupa dengan tajwidnya. Jika ia tak berada di dekat kami, ayah akan meminta mama untuk memanggilkan ustadzah untuk memandu kami mengaji.

Hal inilah yang rupanya mendekatkan ayah dan mama Molzania. Di balik mushaf Al-Qur'an, ada cinta sesungguhnya yang menyatukan..




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline