Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI bukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI utusan daerah sebagaimana berlaku semasa Orde Baru. DPD RI lahir dari rahim Orde Reformasi. Membawa roh pemberantasan korupsi di daerah-daerah dari daerah mana anggota DPD RI terpilih dengan suara terbanyak. Juga membawa aspirasi masyarakat daerah yang tidak atau belum tertampung anggota DPR RI.
Pemberantasan korupsi semasa Orde Reformasi tidak menunjukkan perubahan berarti. Bahkan tindak kejadiannya meluas hingga ke pemerintahan daerah padahal semasa Orde Baru kejadiannya didominasi di pemerintah pusat. Juga terbukti dari hasil survey Transparancy International bulan Desember 2011 yang menempatkan Indonesia pada rangking 100 dari 183 negara yang disurvey dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) hanya 3.0 (skala 0 terkorup – 10 terbersih). Kalah jauh dengan negeri Malaysia dan Singapura.
Korupsi bukan saja menyebar ke daerah-daerah tapi juga melibatkan semua pihak di lembaga-lembaga demokrasi seperti eksekutif, legislatif dan yudikatif. Meskipun sejumlah pelaku tindak pidana keropsi sudah dihukum namun belakangan bermunculan pelaku-pelaku baru berusia muda dengan kerugian keuangan negara begitu besar seperti rekening gendut PNS muda.
Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang juga lembaga negara yang lahir dari rahim reformasi seakan-akan tidak berarti apa-apa. Terbukti dari besarnya kewenangan, biaya politik dan biaya operasional KPK ternyata tidak pernah sebanding dengan hasilnya. Masih jauh lebih banyak keuangan negara yang berhasil dikorupsi ketimbang yang berhasil diselamatkan. Pertambahan jumlah keuangan negara yang berhasil diselamatkan serupa deret hitung sedangkan jumlah keuangan negara yang berhasil dikorupsi serupa deret kali.
Jika saya menjadi anggota DPD RI, tentunya roh pemberantasan korupsi menjadi tugas dan kewajiban yang utama dan yang pertama. DPD RI seakan-akan berperan sebagai kepanjangan tangan dari KPK di daerah-daerah. Berusaha mendapatkan bukti-bukti hukum dari para pelaku tindak korupsi yang ada di jajaran pemerintahan. Juga memotivasi para pejabat pemerintahan untuk melayani warga negara sebaik-baiknya lagi bebas dari korupsi dan suap.
Sebagai anggota DPD RI, saya memastikan diri saya selalu bertaubat dan meminta kepada Allah Subhanahu Wata’ala agar dibebaskan dari perbuatan korupsi selama-lamanya. Inilah persyaratan awal yang selayaknya melekat pada setiap angota DPD RI dimanapun dan kemanapun.
Sebagai anggota DPD RI, saya tidak henti-hentinya memohon ampun dan bertaubat kepada Allah. Terus begitu sepanjang hayat di kandung badan bersamaan dengan upaya-upaya melakukan pemberantasan korupsi dimulai dari diri, keluarga, masyarakat terkecil terus ke lembaga-lembaga negara yang ada di daerah.
Karena DPD RI bukan KPK maka dalam praktek pemberantasan korupsi DPD RI tidak bisa menyidik, menyelidik memeriksa dan menggugat bak pidana maupun perdata. Selaku anggota DPD RI, saya harus mengetahui dan memahami serta menguasai informasi dan komunikasi di daerah-daerah terpencil lagi terkucil. Karena penguasaan informasi dan komunikasi menjadi alat paling ampuh dalam rangka menguatkan kehidupan demokratis di negeri ini. Menjadi kebutuhan mutlak dalam mengemban tugas dan kewajiban kenegaraan di NKRI.
Kasus Sodong di Sumsel dan Mesuji di Lampung membuktikan masih begitu banyak aspirasi yang tidak atau belum tertampung DPR RI. Saya selaku anggota DPD RI berkewajiban mendapatkan aspirasi ini lalu memperjuangkan ke DPR RI dan lembaga-lembaga negara lainnya termasuk lembaga kepresidenan. Berusaha mendapatkan solusi terbaik yang menguntungkan semua pihak terutama rakyat banyak di daerah.*****
Diikutsertakan dalam lomba 'Seandainya Saya Menjadi Anggota DPD RI'
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H