Lihat ke Halaman Asli

Transformasi Budaya Malu di Timor dalam Pendidikan Karakter Anak

Diperbarui: 21 Maret 2019   15:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Menghadapi era digital dalam dunia sekarang perlu menanamkan karakter yang baik pada anak didik agar mampu mengendalikan diri dan menyaring budaya-budaya asing yang menggerogoti kepribadian tumbuh kembang anak dan kaum milenial Tentu  semua orang tidak ingin generasi sekarang lumpuh  karena matinya perasaan malu yang ada dalam diri anak.

Menyimak hal tersebut transformasi budaya malu dalam diri anak sebagai proses pembentukan kepribadian perlu ditanamkan pada anak didik agar mampu menghindari diri dari pengaruh negatif dan mengadopsi  hal-hal positif  dalam kehidupan sehari-hari. Transformasi merupakan jalan menuju sebuah perubahan. 

Tatkala Presiden Pertama, Ir. Soekarno (1901-1970) mengatakan bahwa perubahan diawali oleh diri sendiri. Ibarat mutiara terbaik akan kamu temui di dasar lautan yang paling dalam. Kata-kata ini sungguh mengetuk hati setiap insane yang bermartabat bahwa perubahan itu sesungguhnya telah ada dalam diri seseorang sebagai manusia yang berperasaan dan berakhlak.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan transformasi sebagai perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi dan sebagainya) dan perubahan struktur gramatikal menjadi struktur gramatikal lain, dengan menambah, mengurangi, atau menata kembali unsure-unsurnya. Berarti transformasi budaya malu merupakan jalan menuju perubahan diri seseorang yang mendasar dan  bermartabat serta peduli akan penilaian orang lain disekelilingnya.

Masyarakat Timor memiliki budaya malu yang sangat tinggi. Sebab Budaya malu tersebut telah ada dan hadir dalam kepribadian orang timor. Budaya malu juga menjadi sebuah keharusan dalam keluarga dan masyarakat yang tertuntun dan tertatar..Budaya malu yang ada di timor memiliki enam tingkatan yang saling berpengaruh  dan mengikat sebagai berikut:

 1. Budaya Malu,  dalam bahasa Tetun/Dawan yakni Moe/Mae

Budaya Moe/Mae merupakan dasar perasaan manusia yang harus dijaga dan dipelihara dalam diri setiap insane yang bermartabat. Sehingga setiap anak mau bepergian atau hajatan selalu dinasehati orang tua  dengan tuntunan kata "Daka Moe' dalam bahasa tetun dan dalam bahasa dawan "rak mamaera". 

Kata ini memberikan kewaspadaan untuk selalu berhati-hati dalam kata dan perbuatan. Maka tidak heran kalau oleh Kepala Dinas Pendidikan  Kebudayaan Pemuda dan Olahraga; Drs. Petrus Bria Seran, MM menerapkan program  3M yakni Mulai dari diri sendiri, Mulai dari hal yang kecil dan Mulai dari sekarang. 

Program ini dipertegas dengan larangan-larangan yakni Jangan Melawan Orang tua, Jangan Melawan Guru, Jangan Melawan Pemerintah dan Jangan Melawan Adat, Jangan Melawan Agama. Larangan ini sebagai pembentukan karakter budaya moe yang lahir dari leluhur kepada anak didik.

2. Budaya Malu Muka,  dalam bahasa Tetun/Dawan  yakni Moe Ohin/Humka Nmof

Budaya Moe Ohin/Humka Nmof merupakan dasar penyesalan diri akan kata atau perbuatan yang terungkap atau perilaku yang tidak berkenan di pertontonkan pada masyarakat umum atau didengar oleh orang lain. Perasaan itu muncul pada diri seseorang yang membuat dirinya menghindar dari pergaulan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline