Papua, sebuah pulau eksotis di timur Indonesia. Pulau yang sangat indah, yang memiliki beraneka ragam kekayaan hayati. Papua tempat dimana saya dilahirkan, tepatnya dua puluh lima tahun lalu di kota Jayapura. Saya memang bukan penduduk asli papua, tetapi saya sangat mencintai pulau ini. Saya dilahirkan dari keluarga suku jawa. Bapak dan ibu saya berasal dari pulau Jawa tepatnya di Jawa Tengah. Bapak lahir dan besar di Sragen sedangkan Ibu lahir dan besar di Pekalongan. Keduanya merantau sejak bujang dahulu ke kota Jayapura. Ketika ada orang yang bertanya kepadaku “kamu asal mana ?”, sering saya menjawab “Jawapura”, yang merupakan perpaduan dua kata Jawa dan Jayapura.
Papua tempat dimana saya dibesarkan, saya sering bermain dengan teman-teman asli dari papua, kami senang sekali bermain bola, biasanya sepulang sekolah kami bermain bola meski matahari sedang panas terik. Bila tidak, kami bermain di sore hari, semacam ada alarm yang mengingatkan kami bahwa tepat jam 4 sore kita bermain bola. Kami bermain bukan dilapangan rumput, di dekat rumahku ada sebuah tanah lapang, dimana tidak ada rumputnya, kami menyebutnya "lapangan merah" dikarenakan hanya hamparan tanah berwarna merah yang ada. Tiang gawang kami buat sendiri dengan mengambil kayu dihutan, kayu untuk tiang gawang kami cari yang bercabang dua dibagian ujungnya, mirip seperti ujung katapel, sehingga kami dapat menaruh sebuah kayu dibagian atas sebagai mistar gawang. Kami bermain dengan kaki kosong alias tanpa menggunakan sepatu bola, kami biasa menyebut kaki tanpa alas kaki dengan sebutan “kaki adam”, karena kami percaya Nabi Adam dahulu berjalan tanpa menggunakan alas kaki. Kami bermain bola dengan suka cita, kami membagi dua tim yang sama kuat, tidak ada pembagian tugas dalam tim, semacam semua sudah saling tahu tugas masing-masing dan langsung mengisi tempat yang kosong, mungkin memang Tuhan memberikan bakat alami kepada penduduk papua untuk bermain bola. Selain bermain bola, kami sering bermain didalam hutan, saya mengikuti teman-teman memasang jerat untuk tikus hutan, meski saya tidak ikut memakan tetapi saya jadi tahu cara memasang jerat. Tidak jarang kami bertemu burung di hutan, bukan burung cenderawasih tetapi burung kakatua raja yang berwarna hitam, kami tidak senang mengejarnya, kami biasanya terdiam dan menikmati keindahan burung tersebut. Tidak jarang kami juga bertemu ular, bukan ular yang besar tetapi ular pohon yang kecil, kalau sudah seperti ini teman-teman mengusir ular tersebut.
Teman-teman penduduk asli papua diberi anugrah fisik yang kuat, sejak pagi mereka sudah membantu orang tua bekerja, terkadang teman-teman sebayaku waktu itu tidak mengandalkan pekerjaan orang tua, tetapi mereka telah mencari uang sendiri. Terkadang ketika malam hari mereka mencari ikan dilaut, hasilnya mereka gunakan untuk makan keesokan harinya, atau tidak mereka menjual ikan hasil tangkapan, mereka berjualan dengan berjalan kaki mencari pembeli. Dilain waktu teman-temanku menjadi kuli bangunan, mereka mengangkat pasir untuk digarap, saya tidak tahu upah yang mereka dapatkan, yang saya tahu teman-temanku sering tidak masuk sekolah. Saya rasa kebanyakan orang tua dari teman-temanku tidak memotivasi anak-anaknya untuk sekolah. Tapi bagaimanapun juga mereka tetap teman-temanku, dari merekalah saya belajar tentang hidup seimbang dengan alam.
Papua sungguh sangat indah, saya begitu mengagumi pulau ini seperti lirik lagu yang dinyanyikan oleh Edo Kondologit “Tanah papua tanah yang kaya, Surga kecil turun ke bumi, disana tempat ku dibesarkan, adalah tanah harapan.....” Papua akan tetap indah alamnya dan tetap indah dihatiku. Hingga saat ini, meski konflik sering berkecamuk, Papua tetap saya harapkan untuk lebih maju. Teman-teman kecilku di Papua, aku merindukan kalian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H