ARTIKEL INI DITULIS OLEH:
DEVI ANNISSA, Mahasiswi Agroteknologi Universitas Syiah Kuala
Belakangan ini banyak sekali bencana yang melanda negeri tercinta, Indonesia. Banyak pihak yang terkejut akan peristiwa ini. Rentetan intensitas bencana tersebut mulai naik sejak tsunami yang menimpa Aceh pada 26 Desember 2004 silam, dimana bencana tersebut memakan korban hingga 240.000 jiwa. Menurut laporan Overseas Development Institute (2005). Total kerugian finansial dan ekonomi akibat bencana tsunami mencapai 40 triliun.
Kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis dari Indonesia memang sangat mendukung terjadinya bencana. Bencana dapat terjadi karena faktor alam atau pun faktor non alam. Faktor alamnya adalah Indonesia berada dalam lingkar cincin api. Sedangkan faktor non alamnya adalah masyarakat yang tidak menjaga alam dengan baik. Potensi bencana yang ada di Indonesia dikelompokkan menjadi 2, yaitu potensi utama (main hazard) dan potensi bahaya ikutan (collateral hazard potency). Potensi utama dapat dilihat dari peta rawan bencana, dimana Indonesia mamiliki zona rawan gempa, banjir (termasuk banjir bandang), dan juga tanah longsor. Sedangkan potensi bahaya ikutan meliputi kepadatan penduduk (nomor 4 di dunia setelah China, India, dan Amerika), bangunan yang terbuat dari kayu. Hampir di seluruh pulau di Indonesia (kecuali Kalimantan) memiliki banyak sekali titik rawan gempa.
Bencana tsunami pada tahun 2004 bukanlah tsunami yang pertama kali terjadi di Indonesia. Pada tahun 1883 telah terjadi bencana tsunami di Indonesia akibat dari letusan Gunung Krakatau. Masyarakat Indonesia masih sangat minim pengetahuannya tentang bagaimana menghadapi atau apa yang harus dilakukan jika bencana mengancam. Mereka belum mengenali ciri-ciri dari suatu bencana. Kebanyakan dari mereka menganggap bahwa bencana bukan suatu hal yang menakutkan dan membahayakan. Padahal seyogyanya bencana merupakan hal yang luar biasa dan bisa dikatakan sebagai wujud kemarahan dari Sang Pencipta karena kelalaian manusia.
Pasca tsunami, masyarakat harus menetap dan melakukan segala aktivitas di dalam tenda yang dihuni oleh ratusan atau bahkan ribuan orang. Hal yang paling menyedihkan adalah mereka harus menetap di tenda tersebut dalam kurun waktu yang cukup lama. Untuk membangun rumah bantuan dibutuhkan waktu yang lama. Namun, untuk bangkit dari keterpurukan tidak dibutuhkan waktu yang lama. Hal ini disebabkan karena dukungan dari penduduk di seluruh penjuru dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H