"Kalau mau sukses jadi petani, merangkaplah jadi Tengkulak", begitu temanku yang sudah menjalani profesi ini jauh lebih lama dariku, tapi sayang, kok! sampai sekarang aku belum sukses juga ya?. Terakhir beberapa waktu yang lalu kutemui lagi dia, dan dijawabnya keluhanku, "Kalau mau selamat sekarang ini jangan jadi tengkulak, jadilah petani atau juragan hasil tani". Gila nih orang, jangan-jangan sekali lagi aku minta nasehat, disuruhnya aku jadi pemilik pabrik pengolah hasil pertanian?
Bukan tanpa sebab memang jika nasehat itu terlontar sebab saat ini di era informasi yang serba bebas, petani menjadi lebih memiliki peluang untuk cepat maju ketimbang tengkulak. Sarana komunikasi HP. sudah cukup untuk membuat petani berani menentukan harga jual produknya. Petani sekarang pun sudah memiliki kemampuan yang cukup untuk bisa menghitung biaya pengolahan, sehingga ia bisa memaksimalkan harga produknya di hadapan seorang tengkulak. Pada akhirnya, fungsi tengkulak hanyalah mesin distribusi bagi petani dan sapi perahan bagi pedagang besar.
Kelicikan para pemilik usaha besar perdagangan hasil pertanian telah membuat petani enggan berhadapan dengan mereka. Iming-iming harga hanya kamuflase, yang terjadi adalah "penyunatan" dari setiap porsi kualitas yang ditawarkan petani. Kalau sekarang petani lebih memilih penjualan hasilnya di lahan, itu karena mereka tahu, bahwa biaya untuk pengolahan pasca panen sangat mahal, mulai biaya petik, kuli angkut, transportasi sampai dengan proses setengah jadinya, apalagi jika terjadi pada saat panen raya. Biaya-biaya tu akhirnya di tanggung oleh tengkulak.
Tengkulak biasanya memiliki sarana pengolahan pasca panen tersebut, permodalan mereka kebanyakan didukung oleh para traiding company atau pedagang besar dengan menjaminkan asset miliknya. Dengan segala kelicikannya para pedagang besar menciptakan tekanan harga pada para tengkulak, sehingga sulit bagi para tengkulak untuk mendapatkan laba maksimal. Kejadian inilah mungkin yang dialami pula oleh koperasi-koperasi unit desa selama ini, hingga menyebabkan bangkrutnya hampir semua KUD.
Pola distribusi seperti ini sudah berlangsung sangat lama, hanya berbeda istilah saja di setiap eranya. Perubahan yang menggembirakan hanyalah mmeningkatnya posisi tawar petani, berita buruknya adalah semakin berkembangnya faham kapitalis di masyarakat. Jika pemerintah ingin serius meningkatkan produktivitas dunia pertanian, maka sebaiknya pemerintah total menjadi "pedagang besar" hasil pertanian, seperti Bulog tapi bukan Bulog sekarang, karena Bulog sekarang lebih senang membeli dari pedagang besar (kontraktor) daripada membeli langsung dari petani, mungkin karena bisa dengan mudah memenuhi target dari penguasa.
Bisa dibayangkan, jika satu jalur distribusi bisa diputus, dengan asumsi tingkat efisiensi harga yang diperoleh Rp. 100,- (kita ambil contoh beras), untuk satujuta ton akan dihemat anggaran untuk bulog sebesar Rp. 100.000.000.000,-.
-----
:moko
-----
Ada yang jauh lebih penting dari masalah tertulis di atas, yaitu..... bagaimana nasib para buruh tani?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H