Kopi tak selamanya panas, hanya itu yang saya sesali. Hawa panas dalam kopi, ngebut buru-buru mendingin-meninggal. Apa jangan-jangan setan! Apa jangan-jangan malaikat! Panas setan yang keburu menggigil-adem dalam transformasi diri menuju angel-malaikat. Sudahlah, toh sudah dingin. Obrolan menghangatkan, setan setengah malaikat. Obrolan wetan-ngidul-kulon-ngalor suatu makam(malam-kelam) di pinggiran angkringan.
“Kawan saya di colek manja oleh sekelompok grup vokal bencong-banci-transgender, riuh dengan goyangan dan tampang yang striptis. Playlist: sakitnya tuh disini – cita citata.”
Dalam batin,”untung saya tak rupawan.”
***
Begitu, seperti ketakutan abadi ‘mengada’ diantara saya dan para transgender. Bimsalabim + bismillahirrohmannirohim, tertiba pudarlah ketakutan-kejijikan saya melalui mata dan percakapan di pinggiran Jogja sore itu.
Beliau akrab dipanggil Sinta. Pendiri “Pondok Pesantren Waria Al-Fattan.” Awalnya, sekedar lewat genggam telephone. Suaranya tenang, ramah sedikit medok. Saya masih takut. Berdua, dengan kawan sepenanggung. Kami membeli bensin dari timur tengah tuk menuju kediam-rumah-ponpesnya. Saya semakin takut.
Duar, deg, deg, deg. Seperti terlempar tiba-tiba, di depan kediam-rumah-ponpesnya. “assallammualaikum,” walau saya orang Indonesia, bukan orang Arab. Sepi-sepoy, tidak terlihat tanda-penanda-petanda. Kami coba masuk lebih dalam-radikal. Duar, banci-bencong-transgender berotot bersolek daster, dengan spatula di genggamnya.
“Ada apa mas,” tanyanya. ”Duduk dulu mas.” *suaranya seperti lelaki maskulin, tak ada yang beda.
Duduk, tunggu, waiting-room. Gelas kecil bening berisi kopi susu, tampak. Bu Sinta menampakkan dirinya. Berhidung mancung, bermata hitam-besar, berhijab. Wah. “Mari-mari silahkan,” ujarnya.
Kami mulai bercerita, bertanya, mengangguk-anguk, dan segalanya. Tenang, kalem, dan yang paling saya kagumi “percaya diri.” Tampak sekali, wah. Mulai dengan gempa pada suatu hari, yang membuat Jogja menangis. Para waria menangis. Sinta dan teman-teman waria, berdoa-mendoakan para waria yang ditikam gempa. Itu 2006.
Doa, memang tak masuk akal dan sembunyi-misteri. Selepas itu Sinta dan tema-temanya sering berkumpu, berdoa dan beribadah bersama. Terbentuklah Al-fattan, ruangan yang sangat terasa daya spiritualnya. Bayangkan, ruangan ini merupakan tempat, dimana tangisan-harapan-kekhusukan waria dalam beribadah berkumpul. Auranya, wehhh. Al-fattan adalah rumah yang nyaman bagi waria yang rindu akan ibadah.