Lihat ke Halaman Asli

“Malioboro” yang Terlupakan

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

-Malioboro dalam Bahasa sansekerta berarti karangan bunga
-Malioboro juga dulunya nama colonial inggris yang bernama “Marlborough”
-Malioboro dalam Bahasa “kaili” yang berarti jalan yang dilewati oleh orang kecil
-Malioboro didirikan berbarengan dengan pendirian kraton Yogyakarta,
Perkembangan
pesat terjadi pada masa itu yang disebabkan oleh perdaganagan antara orang belanda
dengan orang cina

Terik matahari menyinari jalan malioboro siang itu. Kerumunan wisatawan menambah panasnya suasana “icon” kota yang katanya istimewa. Lalu-lalang kendaraanpun menjadi alunan pejalan kaki. Dari kejauhan kami hanya dapat melihat situasi, dinamika, dan setumuk kepentingan. Lalu perlahan kami mulai ragu dengan dinamika dan bertanya “Apa mereka memahami Malioboro atau hanya hedon/konsumerisme belaka”?

Namanya Niken dan Yosepin, pelajar kelas 2 SMP mengibaratkan Malioboro sebagai tempat yang seru, nyaman, ramai dan panas. Kemudian saat ditanya sejarah Malioboro, Niken menjawab “Katanya dulu itu tempat perdagangan Belanda dan persembunyian orang-orang/pejuang Yogya”? Mereka berdua berharap Malioboro lebih bersih dan adanya perbaikan bangunan-bangunan yang rusak.

Ada juga Joko dan Toat mengisi waktu luang disela-sela pekerjaannya sebagai sopir. Berikut cuplikan wawancaranya. “Bagaimana pendapat anda tentang Malioboro”? pak Joko berpendapat,”Rame banget Malioboro”. Sementara Pak Toat cenderung apatis terhadap pertanyaan kami. Kemudian ketika ditanya tentang sejarah Malioboro, mereka tidak mengetahui. Sama halnya dengan Deni (advertiser) yang warga asli jogja, dia menjawab,”Dari ini mas, dari toko-toko yang ada di Jalan Mangkubumi”.

Ketiga narasumber tersebut tidak memberikan rasa puas atas pertanyaan kami. Cuaca terik semakin menjadi-jadi, rokokpun menjadi teman kami untuk beristirahat di depan Malioboro Mall. Sambil melihat cantiknya gadis-gadis Malioboro. Rombongan turis berlalu-lalang di sepanjang mall. Dari sana kami berinisiatif untuk mewawancarai wisatawan asing. Rasa malu dan Bahasa Inggris yang pas-pasan membuat kami pesimis untuk mendapatkan data yang sesuai apa yang kami maksud.

Bermodal “nekat” kami menghampiri sepasang turis bule, yang diketahui berama Kathia dan Jaka. Mereka berasal dari Slovenia. Dengan Bahasa Inggris yang pas-pasan,”What’s your opinion about Malioboro?” “Crowded and pollution” said Kathia. Jaka menambahkan,”Too much Batik Shop and too little for eaten (café)”. Jaka and Kathia give some solution for better Malioboro, “Café dan Toko Batik serahusnya mempunyai tempat sendiri-sendiri. Kedaraan bermotorpun seharusnya tidak boleh masuk kawasan Malioboro dan perannya digantikan oleh sepeda”. Tetapi lagi-lagi ketika ditanya tentang sejarah Malioboro,mereka hanya menggelengkan kepala.

Miris memang Malioboro yang begitu terkenal hanya sekedar dijadikan tempat wisata. Para pengunjung hanya menikmati dinamika dan kekongkritan Malioboro,lepas dari itu sejarahnya terlupakan (buruk sadar atau tidak sadar). Kami berharap kepada pembaca agar bisa memahami tempat yang mereka kunjungi terutama roh dan sejarahnya.

Sekian. [Moksa dan Fajar]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline