Oleh: Moh Tamimi*
Masyarakat memenuhi jalanan kota. Tak ada hari cerah di Jakarta, semua kelabu. Polusi udara, pedagang kaki lima di pelataran, di trotoar, di sisi jalan, dan desing knalpot menjadi suasana khas ibu kota. Orang-orang banyak yang menggunakan masker.
Pencemaran udara paling tampak di Jakarta. Awan putih sukar sekali terlihat jelas, apalagi langit bersih seumpama lautan. Suatu pagi di hari minggu, saya melihat para PKL memadati trotoar di depan pasar Palmerah, sesekali tikus got mencuri sayur di antara tumpukan sampah. Bau air got menyengat bila melewati trotoar itu.
Saya berjalan menyusuri jalan raya, sampai perbatasan wilayah kelurahan Grogol Utara, terdapat sungai melintang dari selatan ke utara, sungai itu tampak hitam, tak terlihat ikan-ikan berenang atau makhluk air tawar lainnya seperti kepiting. Semua serba terasing di sini, manusia dengan lingkungannya, ikan-ikan dengan sungainya, jarang terlihat tegur sapa satu sama lain, semua orang sibuk dengan urusannya sendiri. Kendaraan parkir sembarangan, ada pula yang saling serobot tak mau mengalah.
Pagi di Jakarta jauh beda dengan pagi di desaku. Seusai subuh, masyarakat riuh menuju ladang masing-masing, entah untuk bertani atau untuk menyabit rumput sebagai pakan sapi atau kambing.
Sunrise bukan hal yang langka, sisa-sisa taburan bintang semalam sering kali masih terlihat saat hari mulai terang, bulan di ufuk barat belum hilang sepenuhnya. Pagi terasa segar. Saya semakin mengerti mengapa orang-orang kota begitu gembira tatkala melihat fajar dan senja, ia begitu langka di sana, sunrise terhalang gedung, begitu pun sunset. Alam yang permai adalah surga.
Jangan harap gemercik air dan bau tanah yang memikat di kota ini. Selepas hujan di desa, bau tanah begitu memikat lalu menyisakan rindu. Selepas hujan di kota, awas!
Jarang pohon-pohon menghijau di sini, tanah-tanah serba dicor dan diaspal, entah air akan terserap di mana, kecuali langsung menuju sungai-sungai dan got-got yang lebarnya tidak seberapa, belum lagi sampah yang menumpuk di sana-sini. Gang kecil selebar dua meter di aspal di sini, air hanya akan pamit numpang lewat.
Udara begitu panas, matahari begitu angkuh. Jakarta indah dalam khayalan, resah dalam kenyataan.
Pemandangan kontras, sebuah rumah kecil kurang terurus di samping apartemen, pedagang kaki menunggu pelanggan sampai mengantuk di samping toko modern, sarang politikus yang begitu megah berdiri kokoh di tengah masyarakat termarginalkan oleh wakilnya sendiri, komedi yang tak pernah selesai pasca dari satu kerusuhan ke kerusuhan lain. Korporasi menjelma penjarah yang tak kenal ampun terhadap saudaranya sendiri.
Kota yang sesak, desa yang legang. Di desa memproduksi, di kota mempolitisi.