Lihat ke Halaman Asli

Pesan Persaudaraan di SMP Negeri 218 Jakarta

Diperbarui: 17 November 2016   08:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. Pribadi/Moh. Sidik Nugraha

Di sebelah kanan awal jalan yang menurun, bangunan itu berada. Di gerbangnya, tampak seorang lelaki yang berperawakan mirip Babeh Naim di sinetron Tukang Ojek Pengkolan, tetapi sedikit lebih gemuk.  Sehari-hari, dia mengenakan kemeja putih dan celana panjang biru. Dia berkemeja batik dan bercelana yang senada hanya Kamis dan Jumat.  

Jalan itu dinamai Jalan Menara dan bangunan itu merupakan Sekolah Menengah Pertama Negeri 218 Jakarta. Lelaki itu, entah siapa namanya, tetapi supaya mudah sebut saja Pak Satpam.  Pagi ini, seperti juga hari sebelum dan mungkin selanjutnya, dia berdiri di gerbang yang pagarnya dibuka lebar-lebar. Dia menyambut kedatangan para siswa dan guru SMP itu.

Lebar Jalan Menara itu hanya cukup untuk dilalui sebuah mobil perkotaan (city car) dan menghubungkan Jalan Jatipadang Poncol dengan Jalan Jatipadang Raya. Di ujung turunan melintang sebuah kali. Saya kira hari baru beranjak tidak sampai sepuluh menit dari pukul enam pagi. Beberapa orang siswa datang. Sebagian diantarkan dengan motor, sedangkan sebagian lagi berjalan kaki dari arah yang berlawanan dengan saya yang mengayuh sepeda bermerek Federal, yang catnya terkelupas di beberapa bagian, dari arah Poncol.

Di seberang SMP itu, terdapat tempat penampungan barang bekas. Tidak jauh dari sana, dua lelaki duduk di bangku panjang di sebuah warung. Di depan mereka terhidang kopi yang mungkin masih panas, tetapi saya tidak melihat asap mengepul dari bibir gelas. Saya juga tidak dapat membaca apa yang dipikirkan orang-orang yang sedang nongkrong itu. Namun, bukan urusan saya membaca pikiran orang, padahal pikiran sendiri saja sulit dimengerti. 

Laju besi tua, yang saya namai si Buluk itu, bertambah kencang. Jika saja itu bukan jalan yang merupakan bagian dari permukiman padat, saya tidak ingin menarik tuas rem sepeda yang menjadi kendaraan rutin ke kantor. Turunan adalah momentum yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk menghadapi tanjakan, kata orang tentang ilmu bersepeda.

Sementara tangan kanan saya menarik tuas rem yang memperlambat perputaran roda belakang sepeda, saya melihat para siswa SMP itu mencium, entah tulus atau tidak, tangan kanan Pak Satpam. Bagi sebagian orang, mungkin ini dianggap kebiasaan kolot. Apalagi, kebiasaan menghormati orang yang dituakan dan menghargai teman terasa semakin luntur jika mencermati ujaran-ujaran di media sosial akhir-akhir ini. Saya membayangkan seandainya menjadi tangan kanan itu, apa yang saya rasakan saat dimuliakan oleh ratusan siswa itu? Mungkin biasa-biasa saja. Namun, kemungkinan besar saya akan berkata, “Akulah tangan kanan paling bahagia di dunia.”

Karena siswanya berasal dari berbagai kalangan sosial-budaya-ekonomi-agama, sekolah negeri berada di barisan terdepan untuk memupuk pemahaman tentang rakyat Indonesia yang berbeda-beda, tetapi tetap saudara sebangsa.  Pesan persaudaraan semakin tegas semenjak ada spanduk bertuliskan “kita semua bersaudara” di SMP Negeri 218 Jakarta yang sudah dipasang kurang lebih dua pekan. Syukurlah, nilai kebaikan itu masih dipelihara di sana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline