Undang-Undang No 7 Tahun 1996 tentang Pangan, menyebutkan ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap masyarakat yang tecermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, terjangkau, dan berbasis pada keragaman sumber daya lokal. Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang didalamnya memuat subsistem ketersediaan pangan, subsistem distribusi dan subsistem konsumsi.
Keberhasilan subsistem ketersediaan pangan sebagai subsistem hulu dalam sistem ketahanan pangan sangat tergantung pada kelancaran suplay dari bahan pangan. Bukan rahasia lagi bahwa informasi terkait suplay pangan khususnya padi masih menjadi perdebatan. Perdebatan yang disebabkan karena bedanya fenomena yang terjadi dengan data yang ditunjukkan. Perdebatan sebagai akibat metode yang dianggap belum dapat mencerminkan kondisi lapang. Selama ini pengumpulan data pangan, khususnya luasan baik panen atau luas tanam masih menggunakan metode konvensional yang mendasarkan pada metode eye estimate, yang cenderung menghasilkan data dengan akurasi rendah dan waktu pengumpulan data yang lama.
Beberapa hal yang menjadi penyebab munculnya perdebatan yaitu pertama, kontradiksi antar informasi, luas tanam dari komoditas pangan tidak pernah turun, sementara fakta di lapangan telah terjadi alih fungsi lahan dari pertanian menjadi non pertanian seperti perumahan, pabrik dan fasilitas umum misalnya jalan Tol.
Kedua, produksi pangan yang terus meningkat tapi harga-harga dari pangan tersebut masih tinggi. Teori ekonomi menyebutkan jika suplay berlimpah dibandingkan dengan demand, maka harga-harga terhadap barang tersebut rendah. Seharusnya, harga komoditas pangan tidak terlalu terpengaruh oleh adanya hari-hari besar seperti labaran ataupun natal saat ini. Selain itu, jika angka produksi terus meningkat seharusnya suplay juga akan melimpah, tidak perlu melakukan import pangan.
Ketiga, teknologi yang digunakan dalam pendataan masih konservatif atau konvensional sehingga diragukan kesahihan dan validitasnya. Sampai penghujung 2017 sekarang ini kondisi data pangan belum berubah, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Tengah terakhir melakukan rilis data pangan adalah kondisi data tahun 2015.
Namun demikian menjelang tahun 2018 ada secercah harapan baru bagi data pangan. Secercah yang sangat mungkin menjadi jawaban 'gundah gulana' perdebatan data pangan khususnya padi selama ini. BPS bekerja sama dengan BPPT didukung oleh Forum Masyarakat Statistik (FMS) dan Kantor Staf Presiden (KSP) mulai tahun 2018 melakukan Pendataan Statistik Tanaman Pangan Terintegrasi dengan Metode Kerangka Sampel Area (KSA) khusus untuk tanaman padi. Kegiatan KSA ini menjadi salah satu kegiatan prioritas yang merupakan bagian prioritas nasional ke-6 yaitu Ketahanan Pangan. Metodee KSA ini sebelumnya telah dilakukan uji coba di Kab Indramayu dan Garut pada Tahun 2015 dan seluruh Jawa kecuali DKI Jakarta pada buan Mei-Agustus 2017.
Objek pengamatan KSA adalah sebuah area yang disebut segmen dengan luas sekitar 9 hektar. Masing-masing segmen terdiri dari 9 (sembilan) sub segmen, masing-masing subsegmen memiliki titik/dot amatan. Titik-titik amatan dalam subsegmen inilah yang akan menjadi indikator penghitungan luas. Segmen-segmen tersebut dibedakan menurut stratanya masing-masing, S1 adalah strata lahan sawah irigasi, S2 strata sawah non irigasi dan S3 adalah strata lahan bukan sawah. Jawa Tengah dengan luas sawah 0,95 juta hektar pada tahun 2013 dan luas panen padi 1,8 juta hektar (data SP Padi) akan melakukan pengamatan terhadap 2.279 segmen, yang tersebar ke 35 kabupaten/kota. Jumlah sampel metode KSA saat ini adalah untuk penghitungan luas sampai level kabupaten/kota.
Pengamatan KSA dilakukan pada 7 (tujuh) hari terakhir tiap bulan masehi, tahun 2018 akan dimulai pada bulan Januari. Harapan besar digantungkan pada KSA mengingat beberapa hal yang bisa menjadi jawaban perdebatan selama ini. Pertama, KSA memanfaatkan teknologi berbasis android, pengamatan KSA dilakukan dengan aplikasi yang tertanam di Android. Dalam Android petugas pengamat KSA sudah tersimpan segmen-segmen yang menjadi tugas amatan. Petugas dapat mengetahui lokasi segmen tugasnya dengan peta yang sudah terintegrasi dalam aplikasi KSA.
Aplikasi KSA ini terus dilakukan update mengikuti teknologi terkini dan mengakomodir kendala yang ditemui di lapangan. Kedua, hasil pengamatan KSA ini dapat diperoleh dengan segera, karena setelah petugas selesai melakukan pengamatan terhadap suatu segmen maka petugas dapat langsung mengirim hasilnya ke server. Kecepatan perolehan hasil amatan sangat memungkinkan untuk melakukan penghitungan luasan terkini.
Ketiga, objek amatan dari KSA adalah suatu benda yang berupa area bukan manusia, sehingga dapat meminimalkan tingkat kesalahan dari sisi responden/objek amatan. Objek amatan yang berupa area tersebut juga dapat meminimalkan ketidakjujuran dari petugas ataupun validitas dari hasil amatan. Keempat, dari sisi petugas pengamat tidak terlalu dibebani oleh konsep definisi yang selama ini mungkin menjadi penyebab human error. Petugas hanya dituntut untuk dapat menguasai operasional dari aplikasi KSA, jikalau belum memenuhi ketentuan dalam aplikasi maka pengamatan tidak dapat dilakukan. Kelima, metode KSA memerlukan akses internet hanya pada saat pengambilan sampel ke dalam andorid dan pengiriman hasil pengamatan ke server. Pada saat melakukan pengamatan tidak harus menggunakan akses internet. Sehingga wilayah-wilayah yang sulit terhadap akses internet masih bisa terjangkau.
Namun demikian KSA juga memiliki beberapa tantangan yang harus dihadapi. Pertama, letak geografis dari segmen sampel pengamatan KSA. Posisi geografis segmen sampel KSA tidaklah semuanya berada pada lokasi yang mudah dijangkau. Bisa jadi lokasi tersebut berada di dataran atau pun lereng yang jauh dari pemukiman atau perlintasan jalan. Kondisi ini menuntut petugas untuk memiliki fisik yang prima, tangguh dalam menghadapi kondisi geografis yang tidak bersahabat.