Lihat ke Halaman Asli

Uus Khusaeni

Pengacara : Pengangguran Banyak Acara

Penerima Kompensasi BBM Bukan Warga Miskin

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekarang pemerintah Jokowi tidak ingin terlalu dibebani oleh tanggungan BBM yang terlalu besar.Bahasa para mentri Jokowi ini adalah sebagai pengalihan beban subsidi dari BBM ke sektor lainnya. Memang betul ini adalah pengalihan beban. Beban yang sebelumnya ditanggung pemerintah sekarang beban itu harus ditanggung bersama-sama oleh rakyat baik yang miskin ataupun yang kaya. Masyarakat kelas atas dan menengah tidak merasakan beban ini kecuali sedikit saja, tapi masyarakat bawah, mereka terpaksa menerima kenyataan ini sebagai himpitan beban yang sangat menyesakkan dengan diiming-imingi kompensasi yang tidak pasti.

Pemerintah sudah memastikan akan memberikan kompensasi dari kenaikan BBM ini kepada lebih dari 15 juta keluarga miskin. Siapa mereka ? Betul mereka adalah orang miskin, tapi mereka adalah orang miskin yang terpilih. Sementara penduduk miskin lainnya dengan intensitas dan kualitas kemiskinan yang sama tidak terdaftar. Hanya sebagian kecil saja dari daftar tersebut yang salah sasaran jatuh kepada orang yang tidak berhak. Harus diakui bahwa ada orang yang termasuk sangat mampu mendapatkan dana kompensasi BBM. Tapi tidak terlalu banyak.

Yang jadi problem terbesar adalah lebih dari separoh orang yang seharusnya menerima dana kompensasi justru tidak mendapatkannya. Sebagai contoh disalah satu RT di desa saya ada yang mendapatkan jatah kompensasi kurang dari 10 kk. Sementara hampir seluruh masyarakat di RT tersebut status kemiskinannya dinilai sama persis bahkan ada yang dibawah si penerima kompensasi tersebut. Inilah problem yang harus dihadapi.

Masalah tersebut tidak hanya terjadi di satu RT. Secara keseluruhan satu desa saya juga mengalami hal serupa. Rupanya fenomena tersebut bukan hanya menimpa desa saya, tapi ini terjadi di setiap desa yang ada di pulau Jawa bahkan mungkin di seluruh Indonesia.

Dari pengalaman pembagian jatah kompensasi terakhir saat kenaikan BBM di era SBY, pembagian akhirnya dilakukan secara kompromistis untuk menghindari kegaduhan di masyarakat. Para kepala desa akhirnya ikut campur membantu mengatasi permasalahan yang ada. Mereka berunding dengan warga desa untuk tidak menikmati kompensasi itu sendiri tapi satu keluarga diminta dengan kesadaran untuk membagi dana yang diterima kepada tiga orang keluarga yang lainnya.Inilah persoalan sesungguhnya yang mana pemerintah daerah ataupun pusat tidak bisa begitu saja menutup mata.

Oleh karena itu maka ketika saya mendengarkan pemaparan ibu mentri Khofifah saya justru agak bingung, apakah ibu mentri sengaja menutup-nutupi persoalan sebenarnya atau tidak mengerti persoalan karena dilapangan kenyataannya berbanding terbalik dengan yang diucapkan.

Harga BBM sudah naikkan bahkan media televisi nasional sudah memberitakkan pencairan kompensasi. Tapi kami disini di wilayah Cirebon dan sekitarnya belum ada tanda-tanda untuk itu. Ada kemungkinan besar pembagianpun nanti akan dilakukan sesuai format yang sudah ada. Format ketika pembagian BLSM terakhir yang memakai data yang tidak valid.

Kalau misalnya format yang dipakai adalah format terakhir maka ini sudah dipastikan akan kembali ikut memunculkan keributan dan kegaduhan karena dinilai hanya akan mempertontonkan ketidak adilan. Inilah yang ditakutkan oleh para kepala desa dan perangkatnya karena karena mereka harus ikut turun tangan mencoba mendamaikan warganya dan harus memunculkan sikap berani untuk menantang prosedur hukum yang ada akibat pendataan yang amburadul.

Kita tidak punya alasan untuk optimis dengan program pro kemiskinan dari pemerintah apabila keadaannya masih seperti ini. Coba bayangkan di desa saya ada satu sekolah negeri yang tidak diperhatikan oleh pemerintah. Murid-murid yang ada disana 80 persen lebih datang dari keluarga miskin, malah sebagian dari mereka datang dari keluarga yang termasuk paling miskin tapi selama ada program bantuan cash dari pemerinta terhadap siswa miskin satu sekolah tersebut tidak pernah menerimanya. Sedangkan dua sekolah dasar yang ada disekitarnya begitu royalnya memanjakan siswa kurang mampu dengan bantuan cash. Apakah ini bukan diskriminasi. Kalau tidak percaya silahkan dicek

Cirebon,19 Nopember 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline