Melihat perdebatan KRL (tepatnya Commuter Line) impor Jepang versus buatan INKA di Jabodetabek menggoda saya sebagai penikmat kereta untuk berkomentar.
Namun, apa daya, perdebatan itu hanya bisa saya nikmati dari kejauhan sana, mengapa? Bahasannya terlalu tinggi.
Dari kubu pro buatan lokal beropini bahwa saatnya mengurangi ketergantungan terhadap semua serba impor.
Namun, dari kubu pro KRL impor Jepang punya alasan sendiri: produk lokal masih mengalami beberapa masalah.
Sedangkan saya yang berada di Malang, tepatnya pinggiran Kota Malang? Jangankan ikut beropini, membayangkan saja sudah berat.
Ini tidak lepas dari pengalaman pertama dan terakhir saya naik Commuter Line Jogja-Solo saat berlibur dengan impor Jepang, tepatnya KRL 205 Series.
Sebagai pengganti KRD Prameks yang berbahan bakar diesel, Commuter Line Jogja-Solo benar-benar menggunakan listrik.
Dengan pergantian sumber daya ini, harapannya konsumsi bahan bakar fosil bisa berkurang asal pembangkit listriknya ramah lingkungan juga.
Pengalaman ini yang membuat saya iri dengan Jabodetabek dan Jogja-Solo yang sudah punya kereta rel listrik sebagai moda transportasi massa komuter ini.
Bagaimana dengan sistem transportasi massa di Kota Malang dan sekitarnya? Cuma satu, yaitu angkot atau kadang disebut dengan mikrolet.
Dengan ciri khas warna biru, angkot lalu-lalang di penjuru sisi kawasan kota yang dulu dingin, sekarang mulai agak gerah ini.