Lihat ke Halaman Asli

Mohammad Faiz Attoriq

Kontributor lepas

Senandika: Luka Batin yang Abadi

Diperbarui: 10 Maret 2023   20:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Retaknya hubungan sepasang kekasih. (Foto: Unsplash.com/Kelly Sikkema)

1 tahun lebih 8 bulan atau 2 tahun kurang 4 bulan tidak terasa lama untuk dijalani, tetapi terlalu singkat jika diakhiri.

Berharapnya adalah hubungan kita abadi, tetapi mau tidak mau harus kandas dengan air mata dan membusuknya memori.

Kita saling menyalahkan, kamu menyalahkanku karena aku tidak pernah memahamimu, aku menyalahkanmu karena kamu tidak mau mengerti aku.

Bukannya cinta itu saling mengerti satu sama lain, tetapi mengapa yang terjadi justru aku yang harus memahamimu sedangkan kamu tidak mau memahamiku?

Bukannya cinta itu harus menurunkan ego kita? Justru yang terjadi adalah kamu yang tetap meninggikan ego saat aku berusaha untuk menurunkannya.

Kamu yang membuat emosiku terpantik, aku bereaksi, lalu kamu mencari alasan mengapa membenciku hingga akhirnya kamu pergi.

Aku yang selalu disalahkan, aku yang sering kamu marahi, aku yang sering kamu sakiti akhir-akhir kisah kita.

Saat ingin memberontak, kamu justru bilang aku tidak cinta, dari mana? Aku justru masih mencintaimu, karenanya aku memintamu berhenti marah-marah.

Tapi sayang, kamu terlalu keras kepala, kamu justru memilih untuk pergi dengan perpisahan yang sangat menyakitkan.

Di tengah hujan deras, kamu mengakhiri hubungan kita, lalu menghilang bersama kenangan yang tidak pernah bisa terulang.

Setelah kita berpisah, luka ini menganga, aku bingung bagaimana aku menyembuhkan luka ini, apakah dengan mencintai lagi?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline