Dalam penelitian David R. Hawkins, M.D., Ph.D selama kurang lebih 29 tahun yang mengukur energi yang dikeluarkan manusia dalam skala kesadaran tertentu melalui tes kinesiologi ditemukan bahwa kesadaran manusia dan level energi yang dihasilkan bertingkat-tingkat mulai dari dari satuan 0 sampai 1000 poin yang mana skala kurang dari 200 poin disebut force dan skala lebih dari 200 poin disebut power.
Manusia dengan tingkat kesadaran kurang dari 200 poin masih struggle dengan dirinya sendiri (contracted), seperti membenci diri sendiri, merasa sengsara, meratapi masa lalu, menyalahkan pihak luar dirinya, apatis, putus asa, terlalu needy, berlama-lama dalam kesedihan, banyak sekali trauma/luka batin/hambatan-hambatan emosi, mengkhawatirkan masa depan, sangat melekat pada ego, keinginan dan hawa nafsu, sangat terobsesi dan kompulsif. Bila ego, keinginan dan hawa nafsu tidak tercapai masuk dalam frustasi, marah dan kebencian. Bila ego, keinginan dan hawa nafsu tercapai masuk dalam membangga-banggakan diri, kesombongan dan pamer.
Dan manusia dengan tingkat kesadaran lebih dari 200 poin mulai berkembang dengan baik (expanded), mulai letting go, merasa aman dan nyaman, mengambil tanggungjawab, berniat mengembangkan diri, merasa hidup bermakna, mau berkontribusi bagi kehidupan agar lebih baik, welas asih, memiliki abundance mentality dan loving kindness, merasa sangat bersyukur, flow dalam suka cita, kepuasan hidup, kedamaian dan keyakinan/pencerahan. Tidak mudah mencapai kesadaran di level energi tinggi tersebut. Kotoran-kotoran jiwa sering jadi penghalang (hijab/distraction) kejernihan/keheningan intuisi kita untuk menyaksikan/mengakses Tuhan sebagai "Diri yang Tinggi", satu yang sejati, sumber segala realitas, wujud sempurna yang absolute serta tidak dibatasi ruang, waktu, materi, energi dan informasi serta mengalami kebahagiaan sejati.
Kotoran-kotoran hati (force/dun'ya) yang sering ramai dan antri di dalam diri kita serta menahan naiknya jiwa kita ke level energi tinggi (power/akhirah) di antaranya adalah :
(1) Kemelekatan terhadap ego, keinginan dan hawa nafsu seperti terlalu cinta dunia, ambisi atas kekuasaan, keserakahan atas kekayaan, nafsu syahwat yang tidak terkendali, egois, suka pamer.
(2) Prasangka buruk, kesombongan, kemarahan, kebencian, kejahatan, tidak bisa memaafkan.
(3) Kemalasan, sampah-sampah emosi, luka-luka batin, dihantui perasaan bersalah dan penyesalan diri terus-menerus.
(4) Kegelisahan, menyalahkan sana-sini, meratapi masa lalu dan mengkhawatirkan masa depan, kesedihan berlarut-larut, overthinking atas hal-hal yang tidak penting, tidak mau dan tidak berani bertanggungjawab
(5) Keragu-raguan, putus asa, rendah diri.
Berpuasa sejatinya adalah memurnikan kembali diri kita dari kotoran-kotoran jiwa sering jadi penghalang (hijab/distraction) kejernihan/keheningan intuisi kita untuk menyaksikan Tuhan dengan jelas dan mengalami pengalaman transendental. Sehingga terlahir kembali menjadi sejatinya diri kita (be true to ourself) sebagai daya "Tuhan" dan menebarkan banyak kebaikan/kemanfaatan kepada sesama/alam semesta (blessing others). Menjadi manusia merdeka, yang lepas dari dualitas kesengsaraan yaitu ketakutan (khouf/khoufun) dan kesedihan (hazn/yahzanun). Menjalani pengabdian dan pembelajaran hidup dengan penuh kenikmatan dan kegembiraan, sadar penuh hadir utuh dan bermakna. Inilah sejatinya taqwa.
Berpuasa mengungkap kembali sifat asli dan alami diri kita sebagai daya Tuhan dalam setiap aktivitas dan interaksi di kehidupan. Berpuasa mendongkrak pusaran energi kita dari pusaran energi rendah (force) ke pusaran energi tinggi (power). Mengalami ekstasi pencerahan, ledakan suka cita, kedamaian, keikhlasan, rasa syukur, cinta kasih, rasa keberlimpahan, pengabdian dan hidayah yang seakan terus menyirami, membersihkan dan mempurifikasi tubuh dan jiwa kita. Terlahir kembali menjadi true of our self diri kita, yaitu daya Tuhan yang memiliki sifat utama welas asih, pengasih dan penyayang, abundance and love, serta terus menjaga pancaran energi murni dan tinggi tersebut untuk memberi kemanfaatan/kebaikan bagi sesama/alam semesta (blessing others).