Lihat ke Halaman Asli

MASE

Mochammad Hamid Aszhar

Mengapa Saya Ber"Ketuhanan"

Diperbarui: 2 November 2024   16:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Pembahasan tentang Ketuhanan beragam dari budaya ke budaya. Ada ratusan bahkan ribuan nama untuk menyebut Ketuhanan. Mulai Aah di Mesir sampai Zeus di Yunani. "Ketuhanan" sudah ada sebelum nama-nama untuk menyebut Ketuhanan itu ada. Karena nama-nama untuk menyebut Ketuhanan adalah kata benda yang diciptakan manusia. "Ketuhanan" bukan sekedar kata benda. Karena begitu kita menjadikan "Ketuhanan" itu kata benda kita telah mengurungnya dalam suatu kata dan membatasinya. Keberadaan "Ketuhanan" tidak ada batasan terhadap ruang, waktu, materi, energi dan informasi. Sesungguhnya agama-agama dan kepercayaan di dunia menyembah satu "Ketuhanan" yang sama, namun melalui konsep dan pencitraan mental yang berbeda-beda mengenai-Nya. Hal ini disebabkan kesadaran, persepsi, kemampuan pemahaman dan latar belakang budaya yang berbeda-beda setiap manusia. Walaupun persepsi, kemampuan pemahaman dan latar belakang budaya itu bisa menghasilkan citra bahkan konsep yang berbeda, fitrahnya manusia adalah mengakui ada satu keutuhan/oneness yang sejati (esa : dalam bahasa Sansekerta/echad : dalam bahasa Ibrani/ahad : dalam bahasa Arab) (disimbolkan 1), yang absolute dan infinite dibalik kehidupan alam semesta relative dan finite ini (disimbolkan IxI) serta menjadi esensi dan manifestasi semua (disimbolkan x/~=0). Bila disusun menjadi 0 IxI 1. Bila dibunyikan ini menjadi suara dasar kehidupan. Nama God dalam bahasa Inggris sendiri sebenarnya tidak tepat untuk menyebut satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute dan infinite serta menjadi esensi dan manifestasi semua. Karena kata God bisa menjadi Gods (jamak). Sedangkan  satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute dan infinite serta menjadi esensi dan manifestasi semua tidak bisa disifati jamak atau disifati seperti satunya smartphone yang mana banyak satu smartphone yang lain. Termasuk kata Tuhan sebenarnya juga kurang begitu tepat untuk menyebut satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute dan infinite serta menjadi esensi dan manifestasi semua karena secara etimologi kata Tuhan berasal dari kata 'tuan' bentukan dari bahasa China "to/tau - wang". 'To' atau 'tau' artinya manusia dan 'wang' artinya 'raja' atau 'penguasa'. Jadi, to/tau-wang secara harfiah "manusia penguasa". Sedangkan  satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute dan infinite serta menjadi esensi dan manifestasi semua bukanlah bersifat sosok seperti manusia (antrophomorphisme)Karena itu lebih pas menyebut ber"Ketuhanan", bukan Tuhan sosok yang dipandang kebanyakan orang.

Hakikatnya kebenaran (truth) hanya satu. Ada konsep universal/idea tentang kebaikan (the absolute good). Kalau ada perbedaan kebenaran dan kebaikan menurut si A, si B, si C dan seterusnya, hakikatnya hanya karena level kedalaman kesadaran manusia yang berbeda-beda. Mengikuti budaya tidak bisa dijadikan alat untuk menemukan kebenaran. There is no religion base on culture higher than truthBer-"Ketuhanan" itu ditemukan, bukan diwariskan dari budaya ke budaya. Kita sendiri yang harus melakukan proses sadar untuk ber-"Ketuhanan". Kebenaran sejati tentang "Ketuhanan", kita sendiri yang harus mengalami. Begitu kita sudah mengalami dan menyaksikan (syahadah) maka sebenarnya tidak diperlukan lagi kepercayaan, baik itu theism maupun atheism sebenarnya dasar premisnya sama karena keduanya sebenarnya sama-sama berlandaskan kepercayaan. Seperti kita sudah mengalami guyuran air hujan maka sebenarnya tidak diperlukan lagi kepercayaan atau ketidakpercayaan kepada guyuran air hujan. Karena itu kalimat yang lebih tepat bukan percaya kepada Tuhan apalagi Tuhan sosok, namun ber"Ketuhanan"atau mengalami dan menyaksikan"Ketuhanan".  Agama-agama yang didasarkan pada mitos, doktrin dan dogma yang tidak didasarkan pada kesadaran "ini" akan usang seiring berjalannya waktu, dilupakan dan ditinggalkan manusia. Walaupun begitu tidak bisa dengan logika induktif dinyatakan bahwa agama-agama murni yang didasarkan kepada ber"Ketuhanan" akan ditinggalkan seiring perkembangan zaman. Karena bila kita mengkaji sejarah, berdasarkan bukti arkeologis bahwa kesadaran ber"Ketuhanan" sudah ada sejak sebelum 3200 SM di zaman Mesir Kuno. Artinya sudah ribuan tahun pembahasan tentang "Ketuhanan" ini ada bahkan puluhan ribu tahun yang lalu dan tidak usang sampai sekarang bahkan semakin berkembang. Hasil riset yang dilakukan oleh World Values Survey yang melibatkan sekitar 630.000 responden di 110 negara di dunia sejak 1981 sampai 2020 menunjukkan bahwa secara prosentase dari total penduduk dunia jumlah manusia ber "Ketuhanan" menunjukkan peningkatan signifikan. Mungkin kita berpikir bahwa ber"Ketuhanan" hanyalah evolusi dari animisme, dinamisme, totemisme dan polytheism. Namun penemuan banyak ilmuwan sejarah justru sebaliknya, kemanapun mereka menelusuri animisme, dinamisme, totemisme dan polytheism sampai taraf terawalnya di berbagai suku dan bangsa, berdasarkan bukti-bukti arkeologis ditemukan bahwa itu dihasilkan dari kombinasi, variasi dan ekspresi level kesadaran manusia atas satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute dan infinite serta menjadi esensi dan manifestasi semua. "Ketuhanan" yang dilekatkan pada bintang-bintang, alien, roh, manusia, arwah nenek moyang, hewan, tumbuhan dan benda-benda, sifatnya tambahan yang terpisah (bid'ah). Fitrahnya manusia mengakui hanya ada satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute dan infinite serta menjadi esensi dan manifestasi semua yang tidak dibatasi/tidak bergantung terhadap ruang, waktu, materi, energi dan informasi. 

Sebelum melanjutkan pembahasan "Mengapa Saya ber-'Ketuhanan'?", kita perlu menyamakan persepsi tentang apa yang dimaksud "Ketuhanan"? Di sini dengan kata-kata yang terbatas, saya hanya mampu menjelaskan tanda-tandaNya lewat kesoktahuan saya dalam melakukan verbalisasi. Sebenarnya saya tidak tahu apa-apa. Semua argumentasi, tafsir dan kata tentang "Ketuhanan" itu sejatinya bukanlah "Ketuhanan" itu sendiri. "Ketuhanan" sejatinya tidak bisa dikurung dalam kata-kata atau penjelasan ilmiah. "Ketuhanan" sejatinya tidak bisa diinderakan manusia, tidak mengenal batasan dan tidak bisa disamakan/diserupakan dengan apapun juga (laitsa kamitslihi/tan keno kinoyo ngopo). "Ketuhanan" yang sebenarnya, tidak bisa di define/dibatasi dalam ruang, waktu, materi, energi dan informasi. "Ketuhanan" yang sebenarnya, bersifat infinitive, “the undefined”, tidak bisa diberikan batas-batas kata-kata atau dikurung dalam kategori apapun. Bila masih bisa di definisikan, dikurung dalam kategori, diberikan batas-batas dalam ruang waktu, materi, energi dan informasi maka itu bukan "Ketuhanan". Apapun atau siapapun bisa dituhankan, seperti bintang-bintang, alien, roh, setan, manusia, hewan, tumbuhan, uang, ilmu pengetahuan dan teknologi, benda-benda bahkan ego, keinginan, hawa nafsu kita bahkan agama dan kepercayaan itu sendiri yang fitrahnya merupakan jalan ber"Ketuhanan" namun justru dituhankan. Kita perlu menyamakan persepsi mengenai tanda-tanda "Ketuhanan" dalam kehidupan. Menyamakan persepsi untuk menyadari adanya satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute dan infinite serta menjadi esensi dan manifestasi semua yang tidak dibatasi/tidak bergantung terhadap ruang, waktu, materi, energi dan informasi. 

Mengapa "esa"? Karena bila tidak "esa" secara logika akan mengalami kontradiksi dengan "kemutlakan/absolute" dan "tak terbatas/infinity" atas semua. Bila ada banyak Ketuhanan maka dzat, sifat dan perbuatanNya tidak "absolute" atau dengan kata lain dibatasi oleh dzat, sifat dan perbuatan Ketuhanan yang lain sehingga bukan "esensi dan manifestasi semua". Yang demikian pasti hanya ada satu keutuhan (esa), sebab seandainya ada lebih dari satu keutuhan yang terpisah maka akan ada unsur ketergantungan. Sejatinya semua daya-daya manifestasi alam semesta adalah satu esensi dalam konstitusi tertingginya. Semua ini sejatinya adalah esensi dan manifestasi dari "Ketuhanan". Mengapa absolute? Karena bila tidak "absolute" secara logika akan mengalami kontradiksi dengan "satu keutuhan (esa)" dan "esensi dan manifestasi semua". Absolute di sini maksudnya tidak ada unsur ketergantungan, tidak dibatasi siapapun atau apapun termasuk tidak dibatasi ruang, waktu, materi, energi dan informasi serta meliputi siapapun atau apapun ruang, waktu, materi, energi dan informasi. "Ketuhanan" yang sejati (essential) bukan bersifat sosok/manusia (antrophomorphisme) atau melekat pada hal-hal bersifat makhluk lainnya yang memiliki banyak keterbatasan, dilahirkan/dibentuk dan bisa sakit/rusak/mati. "Ketuhanan" yang sejati bukan "imaginary friend", yang diciptakan oleh pikiran manusia yang terbatas. "Ketuhanan" yang sejati tidak dibatasi pikiran, bukan dipikirkan ada maka menjadi ada, entah karena dorongan ketakutan kita, entah karena dorongan keinginan kita mencari tempat bersandar, entah karena dorongan kebutuhan hidup. "Ketuhanan" yang sejati bukan produk pikiran. "Ketuhanan" yang sejati bukan pelengkap atas kebutuhan kita pada kesempurnaan. "Ketuhanan" yang sejati adalah yang telah ada, sedang ada, tetap ada dan akan selalu ada walaupun kita semua tidak berpikir ada, walaupun tidak ada dorongan ketakutan, walaupun tidak ada keinginan mencari tempat bersandar, walaupun tidak ada kebutuhan kita pada kesempurnaan. "Ketuhanan" yang sejati akan tetap ada walaupun kita manusia dan alam semesta ini tidak ada. Dia bukan keberadaan dan bukan pula ketidakberadaan namun meliputi segalanya. Dia tidak bisa dibatasi oleh keberadaan alam semesta atau ketidakberadaan alam semesta. Karena keberadaan alam semesta dibatasi oleh ketidakberadaan alam semestaBegitupun sebaliknya ketidakberadaan alam semesta juga dibatasi oleh keberadaan alam semesta itu sendiri. Karena "Ketuhanan" yang sejati melampaui keberadaan dan ketidakberadaan. 

Yang juga perlu kita pahami bahwa memahami "Ketuhanan" tidak bisa menggunakan pikiran saja, akan terjadi dualisme epistemologis, yaitu pemisahan antara "Ketuhanan" dengan semua ini. Padahal dalam konsep wujud "Ketuhanan" yang absolute sempurna dan tidak dibatasi ruang, waktu, materi, energi dan informasi, harusnya tidak ada pemisahan antara "Ketuhanan" dengan semua ini karena merupakan satu keutuhan. Bila hanya mengandalkan pikiran, akan ada jurang lebar antara "Ketuhanan" dengan semua ini. Hal ini justru membunuh "Ketuhanan" itu sendiri. Hal ini justru mereduksi konsep wujud absolute sempurna "Ketuhanan" yang tidak dibatasi ruang, waktu, materi, energi dan informasi serta menganggap "Ketuhanan" hanya sebatas penggerak awal alam semesta setelah itu tidak melakukan apa-apa atau seperti tukang bangunan yang berada di luar karyanya. Ketika kita memahami "Ketuhanan" hanya sebatas agen luar yang menciptakan semua ini maka logika penalaran kita akan jatuh pada "lingkaran setan". Karena logika penalarannya adalah bagaimana semua ini bisa ada tanpa diciptakan oleh pencipta. Begitu kita konsisten dengan logika penalaran ini, maka kita akan bertanya siapa yang menciptakan Ketuhanan? Begitu kita mengatakan bahwa Ketuhanan ada tanpa diciptakan oleh pencipta maka kita tidak konsisten dengan premis logika penalaran sebelumnya bahwa semua ini ada karena diciptakan oleh pencipta. Semua ini sudah cukup bagi diriNya sendiri, tidak membutuhkan agen luar yang terpisah. Semua ini sejatinya adalah manifestasi dari "Ketuhanan" itu sendiri.

Ribuan Nabi dan ratusan Rasul serta orang-orang tercerahkan di berbagai suku dan bangsa dalam rentang waktu berabad-abad lamanya membantu menyadarkan, meluruskan dan memurnikan pemahaman ber-"Ketuhanan" yang benar. Bukan hanya sekedar mengikuti mitos, doktrin dan dogma nenek moyang. Ber-"Ketuhanan" bukanlah sebuah kepercayaan yang turun-menurun dalam keluarga atau budaya masyarakat tanpa benar-benar mengalami "Ketuhanan" itu sendiri. Ada beberapa tingkatan (level) kedalaman kesadaran atas kebenaran. Yang pertama adalah kebenaran berdasarkan level kesadaran panca indera (ainul yaqin). Contohnya ketika kita menyaksikan matahari dengan indera penglihatan mata kita maka kita menganggap matahari hanya sebesar bola basket. Yang kedua adalah kebenaran berdasarkan level kesadaran sains ('ilmul yaqin). Contohnya ketika kita menyaksikan matahari dengan sains maka kita temukan bahwa diameter matahari sekitar 1.392.684 km atau sekitar 109 kali diameter bumi dan massa matahari sekitar 2×10 pangkat30 kilogram atau sekitar 330.000 kali massa Bumi. Yang ketiga adalah kebenaran berdasarkan level kesadaran spiritual (haqqul yaqin). Ini adalah level kesadaran atas kebenaran puncak (ultimate). Level kesadaran spiritual mendasarkan "keberadaan" tidak menggunakan pendekatan epistemologi empiris - rasional melalui pancaindera dan sains. Level kesadaran spiritual mendasarkan "keberadaan" menggunakan pendekatan epistemologi fisik dan metafisik yang diserap oleh kesadaran murni. Contohnya dengan matahari di atas tidak sekedar mengamati matahari dengan indera penglihatan mata, mempelajari diameter dan massa matahari dengan sains, namun jiwa dan raga kita sudah berada di dalam matahari itu. Sangat sulit dijelaskan dengan kata-kata, namun jiwa raga kita mengalami matahari dengan sangat nyata. Sudah tidak perlu kepercayaan atau ketidakpercayaan. Sudah tidak relevant lagi untuk diperdebatkan. 

Ber-"Ketuhanan" tidak bisa percaya begitu saja sebelum ada kejelasan, sebelum benar-benar mengalami. Inilah sejatinya pengalaman dan kesaksian "Ketuhanan" (syahadah). Ketika kita sudah mengalami dan menyaksikan dengan kejelasan, sebenarnya sudah tidak perlu kepercayaan atau bukti ilmiah apapun. Ber-"Ketuhanan" hanya bisa ditemukan dan dialami sendiri, bukan karena ikut-ikutan atau pengaruh orang lain. Dasar dari ber-"Ketuhanan" adalah mengalami sendiri atau menyaksikan dengan sepenuh jiwa raga. Ber-"Ketuhanan" merupakan proses sadar pengalaman seseorang yang bersifat personal. Kita harus menemuinya sendiri di luar tempurung agama, dogma, doktrin, mitos dan keyakinan keluarga, masyarakat serta nenek moyang kita. Menangguhkan blame, execute, justify. Tidak hanya mengandalkan otak dan kognitif saja, namun menyelami dengan segenap jiwa dan raga. Bersungguh-sungguh mencoba, mengalami dan menguji. Dalam matematika kita di ajarkan bahwa bila kita mau membuktikan formula apapun, maka kita harus mencoba, mengalami dan menguji formula itu dulu bukan? Pola pikirnya bukan "kamu buktikan jumlah dua bilangan ganjil akan genap, baru aku memulai proses perhitungan jumlah dua bilangan ganjil akan genap". Tapi pola pikirnya adalah "aku memulai proses perhitungan jumlah dua bilangan ganjil akan genap, baru aku buktikan bahwa jumlah dua bilangan ganjil akan genap". Dalam ber-"Ketuhanan" juga demikian, pola pikirnya bukan "kamu buktikan dulu Ketuhanan ada, baru aku memulai proses perjalanan menuju ber-Ketuhanan". Tapi pola pikirnya adalah "aku mulai proses perjalanan ber"Ketuhanan", maka aku mengalami dan menyaksikan-"Ketuhanan".

Jika kita tidak mempunyai cukup pemahaman tentang kebenaran hingga di level kesadaran spiritual, hanyalah prasangka, maka milikilah prasangka yang baik. Begitulah etikanya para pencari kebenaran. Namun yang sering terjadi ketika berdebat tentang "Ketuhanan" baik di social media maupun di warung kopi, seringkali kita berasumsi insecure, jika ada hal yang berbeda dengan kita dibiarkan hidup maka kebenaran yang kita percayai akan menderita. Lalu berusaha menyerang, menjatuhkan dan menyingkirkannya. Alangkah indahnya bila setiap diri bisa melakukan proses sadar dan bertumbuh secara alami menyingkap kebenaran. Tidak mendasarkan pikiran, perasaan dan tindakan pada ego (ego base). Walaupun jalannya mungkin harus meniadakan Tuhan-Tuhan palsu terlebih dahulu, baru kemudian mengalami dan menyaksikan "Ketuhanan" yang sebenarnya. Menyaksikan dan mengalami satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute - infinity serta menjadi esensi dan manifestasi semua. Yang juga perlu kita sadari seringkali kita terjebak pada kebenaran subyektif dan relatif dimana kebenaranku berbeda dengan kebenaran dia atau kebenaran kita bukan kebenaran mereka. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, hakikatnya hanya satu kebenaran (truth). Kalau ada perbedaan kebenaran menurut si A, si B, si C dan seterusnya itu hakikatnya karena level kedalaman kesadaran manusia yang berbeda-beda. Hal ini juga disebabkan persepsi, kemampuan pemahaman dan latar belakang budaya yang berbeda-beda setiap manusia. Ada konsep universal/idea tentang kebaikan (the absolute good). 

Secara prinsip kebenaran sejati itu menyempurnakan akhlak, tidak memihak, tidak untuk menyenangkan yang satu dan menyakiti yang lain, tidak untuk mengalahkan dan memenangkan, tidak untuk menyerang, menjatuhkan dan menyingkirkan. Bila kebenaran yang kita yakini menumbuhkan insecure, kesombongan, mudahnya menyalahkan dan merendahkan orang lain, kebencian, bahkan buruknya hubungan baik kita dengan sesama maka perlu kita kaji dan pertanyakan kembali kebenaran tersebut. Kebenaran sejati itu berdiri atas dirinya sendiri, karena dirinya sendiri, oleh dirinya sendiri, untuk dirinya sendiri. Apa yang benar bukan siapa yang benar. Kebenaran bisa datang dari mana saja. Sama sekali bukan hak exclusive kelompok atau golongan tertentu. Kebenaran sejati, sesungguhnya tidak pernah membutuhkan kita untuk membelanya. Kita sendiri yang pada akhirnya harus mengakui, berserah diri dan mengikuti kebenaran sejati tersebut. Sejarah sosial masyarakat dan bangsa-bangsa menunjukkan bahwa hegemoni keyakinan tertentu yang dipaksakan dengan menyerang, menjatuhkan dan menyingkirkan bahkan perang serta berbagai ekspresi insecure dan ego base lainnya pada akhirnya runtuh dan tidak bertahan lama.

Ada beberapa sub-question di sini, mengapa saya ber-“Berketuhanan” ?

Pertama, mengapa kita sampai pada ber"Ketuhanan"? 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline