Pernikahan bentuknya bisa monogami atau poligami. Hukum dasar pernikahan baik itu monogami maupun poligami adalah boleh/netral (mubah). Namun situasi dan kondisi tertentu bisa membuat hukum pernikahan baik itu monogami maupun poligami itu menjadi wajib, sunnah, makruh bahkan haram. Contoh bila ada seorang pria sudah memenuhi syarat untuk menikah dan bila tidak menikah maka sangat berpotensi besar terjerumus dalam hubungan seks bebas yang rentan terhadap kerusakan hidup secara psikologis, biologis dan sosial maka hukum menikah bagi pria dengan situasi dan kondisi tersebut adalah wajib. Dan contoh sebaliknya bila ada seorang wanita tujuan menikah adalah melakukan manipulasi dan pemerasan maka hukum menikah bagi wanita dengan situasi dan kondisi tersebut adalah haram. Hukum menikah menjadi sunnah (lebih utama) bila kebaikan (maslahah) lebih banyak dari keburukan (mudharat). Hukum menikah menjadi makruh (tidak disukai) bila keburukan (mudharat) lebih banyak dari kebaikan (maslahah).
Monogami dan poligami seringkali dipertentangkan. Pro dan kontra, antara monogami dan poligami seringkali mirip pro dan kontra dalam anekdot "the alephant in the dark room". Mereka yang pro poligami sering terjebak menggunakan dalih syariat Islam sebagai kedok untuk memenuhi ego dengan justifikasi itu "Sunnah Rasul". Mereka yang kontra poligami, melakukan justifikasi-justifikasi pembenaran yang tidak didasari pemahaman secara utuh dan lengkap tentang poligami yang diatur dalam syariat Islam. Pemahaman baru parsial, baru denger-denger, atau dari katanya-katanya. Kita tidak bisa memegang suatu pedoman hidup hanya berdasarkan pemahaman yang parsial, baru denger-denger, atau hanya katanya-katanya. Bila kita memahami sejatinya pernikahan baik monogami dan poligami maka kita akan menyadari bahwa monogami dan poligami tidak perlu dipertentangkan. Monogami maupun poligami adalah jalan hidup manusia yang saling melengkapi dalam sistem sosial.
Menarik penelitian yang dilakukan oleh Shelby B. Scott dkk dari University of Denver, USA tentang 5 penyebab utama perceraian dalam pernikahan yaitu perselingkungan, konflik, lemahnya komitmen, kurang kedewasaan, dan kondisi keuangan. Dari semua penyebab perceraian itu, akar permasalahannya bukan karena monogami atau poligami, namun lebih kepada sikap dan behavior. Berapa banyak monogami yang tidak bahagia, berantakan dan berujung pada perceraian? Dan tidak sedikit poligami yang bahagia, rukun dan saling menguatkan bila benar menjalaninya. Faktanya poligami setelah dijalani dengan benar dan suami mampu bersikap adil secara lahiriah, sebagian besar permasalahan hanya berkisar pada kecemburuan istri-istri dan salah paham. Ini wajar karena mereka manusia yang mencintai suaminya dan masih memiliki ego. Para istri-istri itu bukan malaikat. Hal ini bisa diselesaikan dengan mudah, bila suami memiliki integritas, kepemimpinan (leadership) yang kuat, komunikasi yang baik serta kedewasaan dalam bersikap.
Fakta yang disampaikan Shelby B. Scott dkk dari University of Denver, USA dalam penelitiannya tentang penyebab perceraian di antara 5 penyebab utama perceraian disampaikan tersebut diatas sebagian besar disebabkan oleh perselingkuhan. Dan salah satu bentuk perselingkuhan yang dampaknya sangat merusak dan mengerikan adalah "jajan"/membeli wanita di tempat prostitusi atau tempat yang lain. Poligami dan perselingkuhan adalah hal yang sangat berbeda. Poligami adalah salah satu bentuk hubungan pernikahan yang bertanggungjawab. Sedangkan perselingkuhan adalah hubungan yang tidak bertanggungjawab. Pria yang suka berselingkuh ketika ditawari untuk menjalani pernikahan poligami secara halal dan syah menurut syariat Islam maupun hukum negara tidak akan mau. Karena pria yang suka berselingkuh itu memang tidak gentle dan tidak bertanggungjawab. Kalaupun pria yang suka berselingkuh diberikan jalan berpoligami akan tetap memiliki hasrat berselingkuh bila behaviornya memang suka berselingkuh, bahkan ketika sudah memiliki 4 (empat) istri sekalipun.
Poligami adalah solusi sosial manusia sesuai kapasitas, situasi dan kondisi tertentu, sedangkan perselingkuhan adalah penyakit jiwa individu yang harus diselesaikan oleh individu itu sendiri. Pernikahan yang dijalani dengan baik secara monogami maupun poligami membuat pikiran, emosi, tubuh dan energi tenteram, kitapun akan jadi lebih mampu mengoptimalkan potensi diri kita lebih powerfull dan produktif. Dalam riset yang dipublikasikan City Journal oleh Manhattan Institute for Policy Research (MI) tentang "Why Marriage Is Good For You" disampaikan bahwa pernikahan bisa meningkatkan kesetiaan seksual. Pria yang tidak menikah dan menjalani kehidupan "kumpul kebo", empat kali lebih mungkin untuk selingkuh daripada suami yang sudah beristri baik itu dengan monogami maupun poligami.
Dunia modern telah banyak mengubah wanita menjadi mandiri dalam segala hal. Kesetaraan sering dipahami secara salah sebagai kesamaan. Faktanya sifat biologis wanita dan pria tidak sama. Secara biologis walaupun pria sudah diatas umur 40 tahun masih memiliki hormon testosteron yang tinggi sementara wanita bila umur diatas 40 tahun mengalami penurunan hormon estrogen. Dalam antropologi dikenal istilah female hypergamy. Bahwa ada kebutuhan wanita dilindungi pria. Pria adalah pengayom wanita. Inilah makna arrijala qawwamuna 'alan nisa (QS 4 : 34). Kesetaraan yang sering dipahami secara salah sebagai kesamaan hanya menghasilkan fenomena jumlah "jomblo" yang melonjak, tingkat perceraian yang semakin banyak bahkan kehidupan single parents yang semakin meningkat. Hal ini berdampak kepada perselingkuhan yang semakin merebak serta bencana demografi. Yang sangat menyedihkan prostitusi, penyakit jiwa, penderitaan keluarga terutama anak-anak, infeksi penyakit menular seksual (PMS) dan human trafficking juga ikut merebak.
Riset Euromonitor Interational Research menunjukkan bahwa jumlah wanita yang tidak memperoleh pasangan atau jodoh alias jomblo hingga usia yang semakin lanjut di dunia modern ini mengungkap fakta yang mencengangkan. Tahun 1996, jumlah jomblo di dunia sekitar 153 juta orang. Setelah 15 tahun menjadi 277 juta atau naik sekitar 55% . Di Indonesia sendiri, berdasarkan data BPS sebagaimana dilansir oleh CNBC Indonesia Research, jumlah perempuan Indonesia tetap single hingga menjelang umur 40 tahun naik tiga kali lipat dalam periode 1970 hingga 2010. Pada 1970, hanya 1.4%, pada 2000, naik menjadi 3,5% dan naik tipis ke 3,8% pada 2010. Hal yang sama terjadi pada lelaki yang juga mengalami kenaikan, dari 10,02% pada tahun 2000 menjadi 11,58% pada tahun 2010. Hasil survei General Social Survey AS, yang dipublikasikan oleh Institute for Family Studies (IFS) pada 2018 menunjukkan bahwa laki-laki yang berselingkuh sekitar 20% dan perempuan yang berselingkuh sekitar 13 %. Namun riset tersebut menunjukkan pola baru bahwa pada rentang usia 18-29, perempuan yang sudah menikah dan melakukan perselingkuhan (sekitar 11 persen) lebih banyak daripada laki-laki yang sudah menikah dan melakukan perselingkuhan (sekitar 10 persen). Bahkan Esther Perel, seorang psychoanalyst dalam 'State of Affairs: Rethinking Infidelity' yang dipublikasikan pada 2017, menyampaikan bahwa jumlah perempuan yang sudah menikah dan berselingkuh kini telah meningkat hingga 40 persen bila dibandingkan dengan tahun 1990. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh kesimpulan bahwa kesetaraan antara pria dan wanita bukanlah kesamaan, namun hubungan yang saling melengkapi dan menguatkan dengan kelebihan masing-masing. Persepsi kesamaan itu menabrak sifat wanita dan pria yang secara biologis berbeda. Secara antropologi antara pria dan wanita juga berbeda. Upaya menyamakan pria dan wanita dengan kedok kesetaraan gender mengakibatkan ketidakseimbangan kehidupan dengan semakin naiknya tingkat perceraian, perselingkuhan, prostitusi berikut turunannya.
Poligami dalam Islam, bila kita memahami maqoshidus syariah (maksud/tujuan dibentuknya hukum) maka kita akan memahami keagungan syariat Islam tentang poligami, tidak seperti yang banyak disalahpahami aktivitis emansipasi wanita dan kesetaraan gender. Poligami adalah salah satu jalan pernikahan yang gentle dan bertanggungjawab. Karena itu walaupun secara aturan (syariah) suami boleh menikah lagi tanpa ijin istri, namun nilai, norma dan etika dari pernikahan Islam baik itu monogami maupun poligami itu harus jujur dan terbuka, tidak ada dusta. Karena poligami itu adalah salah satu jalan pernikahan yang bertanggungjawab yang pertanggungjawabannya tidak hanya di hadapan pasangan, namun juga di hadapan orangtua, keluarga besar dan masyarakat. Tatanan Islam tidak hanya aturan (syariah) saja namun ada nilai, norma dan etika (akhlak). Pernikahan harus dimusyawarahkan secara terbuka dan jujur dengan istri pertama/istri lainnya bila berniat menikah lagi. Bila ada dusta maka istri bisa menuntut melanjutkan atau memutuskan pernikahan (khiyar) atau membatalkan pernikahan (fasikh) [Cek HR. Muslim, no. 2607].
Poligami tidak sama dengan selingkuh yang mana selingkuh adalah bagian dari pengkhianatan. Atau salah besar bila dikatakan bahwa prostitusi lebih baik dari poligami. Wanita yang menjadi istri kedua, ketiga dan keempat juga tidak bisa dituduh pelakor (perebut laki orang) karena mereka tidak merampok dan mau bersama-sama berjuang untuk kebahagiaan dan kebaikan yang lebih besar. Poligami bukanlah transaksi bisnis yang memperlakukan wanita sebagai komoditas untuk dieksploitasi seks dan kecantikannya tanpa dinikahi secara syah, gentle dan bertanggungjawab baik secara syariat Islam dan hukum negara dihadapan istri pertama, keluarga dan masyarakat. Selingkuh dan prostitusi justru merendahkan wanita dengan merenggut kehormatannya tanpa bertanggungjawab menikahinya serta merusak kehidupan sosial, terutama keluarga. Selingkuh dan prostitusi mengeksploitasi wanita dan tidak gentle bertanggungjawab di hadapan keluarga dan masyarakat. Kerusakan kehidupan sosial akibat perselingkuhan atau prostitusi justru sangat dahsyat dan menghancurkan. Banyak hasil riset menunjukkan kerusakan kehidupan sosial karena perselingkungan atau prostitusi seperti penyebaran penyakit kelamin, hancurnya keluarga, hancurnya masa depan anak-anak, hancurnya integritas seseorang secara biologis, psikologis dan sosial.
Poligami yang dilakukan dengan baik sesuai syariat Islam, adalah terhormat, gentle, bersih, suci dan bertanggungjawab, sehat secara biologis, psikologis dan sosial selama mendapat restu (ridha) dari istrinya. Sedangkan selingkuh apalagi "jajan"/membeli wanita di tempat prostitusi atau tempat yang lain adalah perbuatan kotor yang penuh dengan penyakit menular seksual (PMS), hina, pengecut dan tidak bertanggung-jawab serta penuh dengan toxic secara biologis, psikologis dan sosial. Poligami yang dilakukan dengan baik sesuai syariat Islam, pantang untuk merenggut kehormatan wanita yang paling intim tanpa secara gentle dan bertanggungjawab untuk menjadikannya istri syah dan memberikan nafkah baik nafkah lahir maupun nafkah batin. Tidak hanya bertanggungjawab terhadap wanita yang dinikahi sebagai istri namun juga bertanggungjawab terhadap anak-anak yang dilahirkan oleh para istri, bertanggungjawab terhadap orangtua istri, bertanggungjawab terhadap keluarga besar istri serta bertanggungjawab pada kelangsungan kehidupan masyarakat lebih luas.