Lihat ke Halaman Asli

Pilpres 2014; Upaya Memunculkan Pemimpin Nasional Tarnsformatif

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Muhammad Aziz
Penulis adalah Peserta Beasiswa Pascasarjana (S-2) Pendidikan Kader Ulama' Kementerian Agama Republik Indonesia (PKU KEMENAG RI) Tahun 2012/2014 di Ma'had ‘Aly al-Hikamus Salafiyah Cirebon, dan Pascasarjana IAIN Cirebon dan Alumni Pondok Pesantren Mambaus Sholihin Gresik.
Dalam waktu yang tidak lama lagi bangsa ini akan menghadapi pekerjaan besar, yaitu penyelenggaraan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden priode 2014 – 2019. Pilpres merupakan aktivitas yang berhubungan dengan kekuasaan. Sebuah keniscyaan, jika seluruh partai politik dan individu-individu yang menjadi kandidat memiliki kepentingan untuk menang. Mereka akan mengoptimalkan seluruh sumberdaya politik termasuk kekuatan para pendukungnya. Jika ada kesiapan untuk menang dalam sebuah rivalitas, seyogianya juga harus ada kesiapan untuk kalah. Namun demikian, banyak kandidat yang ternyata tidak siap kalah sehingga dengan sadar memicu konflik pasca-pemilu. Misalnya, mengalirkan konflik melalui berbagai ikatan tradisional, sentimen etnis, budaya patriarki, ideologisasi agama dan sejumlah faktor potensial lainnya.

Berkaca pada kenyataan pemilu legislatif 2014 bulan kemarin, masih menggambarkan kepada kita bahwa kelompok elit senantiasa menjadi kekuatan dominan dalam rangkaian proses pemilu serta hanya sedikit memberi akses leluasa pada publik untuk mendapatkan pemberdayaan politik (political empowerment) yang memadai. Pemilu dengan segala hingar-bingarnya seolah menjadi momentum milik para pemimpin partai, calon anggota legislatif (caleg), kandidat capres serta cawapres. Penetrasi elit dilakukan mulai dari berbagai varian media massa hingga ke lingkup keluarga, organisasi dan kelompok masyarakat. Akan tetapi berbagai sentuhan politik yang dilakukan elit berjalan linear menuju pencapain kepentingan mereka. Sehingga Pemilu sangat berpotensi besar menyebabkan terjadinya disonansi kognitif daripada menjadi momentum transformasional.

Selain sebagai momentum tranfomatif, salah satu hal memberi optimisme bagi masyarakat Indonesia dengan pemilu 2014 adalah adanya pemilihan presiden dan wakil presiden langsung. Model pemilihan langsung ini memungkinkan lahirnya sosok pemimpin nasional yang benar-benar memiliki legitimasi dan dukungan kuat dari rakyat. Presiden dan wakil presiden sering diidentifikasi sebagai personifikasi kepemimpinan nasional meski kadang ini terlalu mensimplifikasi persoalan. Karena sebenarnya apa yang disebut kepemimpinan nasional, kompleksitasnya lebih dari sekadar presiden dan wakil presiden.

Lebih dari itu, ada hal ideal yang tentunya diharapkan publik dari penyelenggaraan pemilu adalah muncul dan terpilihnya pemimpin nasional yang transformatif. Sosok pemimpin tipe ini adalah pemimpin yang mampu menggerakan harapan rakyat untuk senantiasa melakukan perbaikan perbaikan. Dalam perspektif penulis syarat-syarat pemimpin transformatif itu adalah:

Pertama, memiliki kemampuan refleksivitas yang memadai. Poole, Seibold dan McPhee dalam Hirokawa, R.Y. & M.S Poole (1986: 237-264), memandang perlu adanya refleksivitas (reflexivity) dalam setiap upaya membangun perbaikan organisasi termasuk birokrasi. Refleksivitas pada dasarnya merujuk pada kemampuan aktor untuk memonitor tindakan-tindakan dan perilaku mereka. Sebagian besar reflesivitas didasarkan pada pengalaman masa lalu yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang. Dengan membaca masa lalu dan memperbaikinya, maka sesungguhnya bisa menatap masa depan yang jauh lebih baik. Pemerintah seharusnya memiliki dua kesadaran dalam proses refleksivitas ini yakni, kesadaran diskursif (discursive conciousness) dan kesadaran praktis (practical conciousness).

Kesadaran diskursif, merujuk pada kemampuan untuk menjelaskan kepada khalayak atas sejumlah sikap, kebijakan dan tindakan pemerintah sehingga khalayak bisa memahaminya dengan baik. Kenyataannya, kesadaran diskursif ini hingga sekarang masih tertutupi oleh prasangka berlebihan, mekanisme pertahanan diri, dan sejumlah pembenaran yang kerap berlebih-lebihan versi pemilik otoritas kekuasaan dan aparaturnya. Sementara kesadaran praktis (practical conciousness), terkait dengan kemampuan pemimpin untuk dirasakan kehadiran dan manfaat kepemimpinnya di tengah masyarakat. Kita bisa mencontohkan aksi nyata Presiden Chili Sebastian Pinera, yang turun tangan dalam aksi penyelamatan 33 penambang yang terperangkap di bawah tanah selama 69 hari. Sebuah aksi nyata seorang pemimpin, yang layak mendapat perhatian dunia internasional. Tindakan cepat, tanpa basa-basi dan formalitas lembaga kepresidenan memancar dari aksi Pinera. Begitu juga aksi nyata yang dilakukan oleh Gus Dur terhadap dua Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Arab Saudi dan Malasyia, pada saat akan menerima hukuman mati oleh pemerintah setempat, dengan cara membangun komunikasi langsung dengan kepala Negara yang berkaitan, pada akhirnya menyebabkan kedua TKI tersebut selamat dari hukuman mati kala itu. [VIVAnews.com, Selasa, 21 Juni 2011.]

Kedua, pemimpin transformasional harus memiliki basis asketisme politik yang memadai. Kata asketisme, bermula dari bahasa Yunani ascesis yang bermakna “pelatihan”. Biasanya para atlit di Yunani, melakukan latihan keras sebelum pertandingan di Bukit Olimpus, yang salah satu tujuannya adalah mengosongkan dan mengasingkan diri dari nafsu-nafsu duniawi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), asketisme diberi arti ‘paham yang mempraktikkan kesederhanaan, kejujuran, dan kerelaan berkorban’. Sementara dalam Encyclopedia of the Middle Ages, Volume 2 (2000: 118) asketis merupakan sejumlah latihan penyesalan diri, hidup kekurangan, menahan malu atau aib, serta kontemplasi untuk menuju jiwa yang sempurna. Dengan demikian, asketisme politik secara umum bisa kita pahami sebagai upaya menjalankan aktivitas berpolitik berdasarkan pada prinsip kesederhanaan dan etika serta memproyeksikan tindakannya demi kemaslahatan rakyat banyak. Caranya, berpolitik tidak dengan mengedepankan kepentingan pribadi untuk mengejar kekuasaan dan kekayaan semata-mata melainkan demi tujuan kemaslahatan bangsa dan negara. Artinya, asketisme politik tak sekedar moralitas melainkan juga tindakan sosial. Dalam konstruks berpikir Habermas tindakan sosial ini biasanya melibatkan dua dimensi praksis yakni kerja dan interaksi.

Ketiga, memiliki sumberdaya politik ((political resources) yang memadai untuk mendukung performa komunikatifnya. Pemimpin terpilih harus mengantongi kekuasaan yang sah (legitimate power) sebagai produk dari pemilu presiden langsung. Dalam menjaga performa, tentu saja terkait dengan dua aspek yang tak bisa dipisahkan, yakni citra dan agenda kerja. Citra terkait dengan carapandang masyarakat atas sosok pemimpin dengan segala macam atributnya, sementara agenda terkait dengan program kerja nyata pemimpin ke depan. Pacanowsky dan O’Donnell dalam bukunya Communication and Organizational Culture (1982), mendefinisikan performa sebagai metafora yang menggambarkan proses simbolik dari pemahaman akan perilaku manusia dalam sebuah organisasi. Performa ritual, hasrat, politis, sosial dan enkulturasi dari pemimpin sudah seharusnya mengacu pada jati diri pemimpin yang menginspirasi banyak pihak. Citra penting tetapi bukan segalanya, karena jika pemimpin secara dominan terjebak ke dalam politik citra saja, maka akan selalu menciptakan hiperrealitas.

Namun, sampai hari ini bangsa ini belum mampu untuk mewujudkan hal itu semua, hanya satu atau dua tokoh saja yang dapat memberikan sejenis oase di tengah-tengah masyarakat, malah yang terjadi justru masyarakat disuguhi dengan kecenderungan politik pencitraan yang mengarah pada apa yang disebut Jean Baudrillard dalam tulisannya The Precession of Simulacra, sebagai simulasi realitas. Pada dasarnya simulasi realitas ini merupakan sebuah tindakan yang memiliki tujuan membentuk persepsi yang cenderung palsu (seolah-olah mewakili kenyataan). Ruang pemaknaan di mana tanda-tanda saling terkait dianggap tidak harus memiliki tautan logis. Wajar jika hiperealitas dalam pandangan Baudrillard dimaknai sebagai “The simulation of something which never really existed.”. Sementara Umberto Eco menyebutnya sebgai “The authentic fake” atau kepalsuan yang otentik. Tentu pemimpin transformasional tidak akan menjadikan politik citra sebagai segala-galanya karena basis tindakannya adalah selalu mengacu pada agenda kerja. Citra diposisikan secara proporsional sebagai salah satu bagian penunjang dalam merealisasikan agenda kerja yang telah dicanangkan, dan bukan hanya untuk tebar pesona. semoga !




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline