Lihat ke Halaman Asli

Kode Etik Hubungan Antarumat Beragama

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indonesia merupakan Negara yang pluralis (majemuk), kemajemukan tersebut dapat dilihat dari beraneka ragamnya suku, ras, etnis, budaya dan agama yang ada di tanah air. Pluralitas ini, kalau tidak dirawat dengan baik, akan menimbulkan konflik yang tajam, baik konflik antar suku, antar ras, antar budaya bahkan yang lebih membahayakan adalah konflik antar agama. Konflik antar agama terjadi, karena minimnya pemahaman pemeluk agama tentang toleransi dan wawasan untuk mengelola hubungan antar umat beragama dengan baik.

Dalam kaitan inilah al-Qur’ân memberi kode etik dalam hubungan antarpemeluk agama. Beberapa kode etik tersebut adalah:

Pertama, tidak bertoleransi dalam akidah. Dalam hubungan bermasyarakat, al-Qur’ân sangat menganjurkan agar umat Islam menjalin hubungan tidak hanya dengan sesama Muslim, tetapi juga dengan warga masyarakat yang non-Muslim. Meski demikian, toleransi tersebut bukanlah dalam hal akidah. Hal ini secara tegas diisyaratkan dalam Q.S. al-Kâfirûn [109]: 1-6:

Sebab turun surah tersebut oleh sementara ulama terkait dengan peristiwa datangnya beberapa tokoh kaum musyrikin di Mekkah, seperti al-Walîd ibn al-Mughîrah, Aswad ibn ‘Abdul Muththalib, Umayyah ibn Khalaf, kepada Rasulullah saw. Yang menawarkan kompromi menyangkut pelaksanaan tuntunan agama. Usul mereka adalah agar Nabi saw. Bersama umatnya mengikuti kepercayaan mereka, dan mereka pun akan mengikuti ajaran Islam. Mereka menyatakan, “Kami menyembah Tuhanmu—wahai Muhammad—setahun dan kamu juga menyembah tuhan kami setahun. Kalau agamamu benar, kami mendapatkan keuntungan karena kami juga menyembah Tuhanmu; dan jika agama kami benar, kamu juga tentu memperoleh keuntungan.” Mendengar usul tersebut, Nabi saw. menjawab dengan tegas, “Aku berlindung kepada Allah dari tergolong orang-orang yang mempersekutukan Allah.” Kemudian turunlah surah di atas yang mengukuhkan sikap Nabi saw. tersebut [Al-Suyûthî: 685]

Usul kaum musyrikin tersebut ditolak Rasulullah saw. karena tidak mungkin dan tidak logis terjadi penyatuan agama-agama. Setiap agama berbeda dengan agama yang lain, baik ajaran pokoknya maupun perinciannya. Oleh karena itu, tidak mungkin perbedaan-perbedaan itu digabungkan dalam jiwa seseorang yang tulus terhadap agama dan keyakinannya. Setiap penganut agama harus yakin sepenuhnya dengan ajaran agama atau kepercayaannya. Jika telah yakin, mustahil mereka akan membenarkan ajaran yang tidak sejalan dengan ajaran agama atau kepercayaannya.

Kerukunan hidup antar pemeluk agama yang berbeda dalam masyarakat yang plural harus diperjuangkan dengan catatan tidak mengorbankan akidah. Kalimat yang secara tegas menunjukkan hal ini seperti terekam dalam surah di atas, “Bagimu agamamu (silakan yakini dan amalkan) dan bagiku agamaku (biarkan aku yakini dan melaksanakannya).Ungkapan ayat ini merupakan pengakuan eksistensi secara timbal balik, sehingga semua pihak dapat melaksanakan apa yang dianggapnya benar dan baik, tanpa memutlakkan pendapat kepada orang lain sekaligus tanpa mengabaikan keyakinan masing-masing. Apabila ada pihak yang tetap memaksakan keyakinannya kepada umat Islam, al-Qur’ân memberi tuntunan agar mereka menjawab, “Katakanlah, ‘Siapakah yang memberi rezeki kepada kamu dari langit dan dari bumi?’ Katakanlah, “Allah”, dan sesungguhnya kami atau kamu pasti berada di atas kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah, “Kamu tidak akan ditanya menyangkut dosa yang telah kami perbuat dan kami tidak akan ditanyai tentang apa yang kamu perbuat. Katakanlah, ‘Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. Dan Dialah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Saba’ [34]: 24-26).

Gaya bahasa yang digunakan dalam ayat di atas oleh sementara ulama disebut dengan istilah uslûb al-inshâf, yaitu si pembicara tidak secara tegas mempersalahkan mitra bicaranya, bahkan boleh jadi mengesankan kebenaran mereka. Ayat di atas tidak menyatakan kemutlakan kebenaran ajaran Islam dan kemutlakan kesalahan agama lain. Al-Qur’ân menuntun kepada umat Islam dalam berinteraksi sosial khususnya dengan non-Muslim untuk menyatakan, “sesungguhnya kami atau kamu pasti berada di atas kebenaran atau kesesatan yang nyata.” Mungkin kami yang benar mungkin juga kalian, dan mungkin kami yang salah dan mungkin juga kalian. Pandangan tersebut juga didukung oleh penggunaan redaksi dalam ayat di atas yang menyatakan, “kamu tidak akan ditanyai tentang dosa yang telah kami perbuat (ajramnâ).”

Kedua, tidak menghina Tuhan agama lain. Ayat yang secara tegas melarang hal ini adalah Q.S. al-Anâm [6]: 108:

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, maka (akibatnya) mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami perindah bagi setiap umat amal mereka. Kemudian kepada Tuhan-nyalah mereka kembali, lalu Dia memberitahu kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”

Salah satu riwayat yang populer menyangkut sebab turun ayat ini adalah bahwa pada waktu Nabi saw. Masih tinggal di Mekkah, orang-orang musyrik mengatakan bahwa Nabi saw. dan orang-orang mukmin sering mengejek berhala berhala tuhan mereka. Mendengar hal ini, mereka secara emosional mengejek Allah SWT. Bahkan, mereka mengultimatum Nabi saw. dan orang-orang Mukmin, “Wahai Muhammad, hanya ada dua pilihan; kamu tetap mencerca tuhan-tuhan kami, atau kami akan mencerca Tuhanmu?” Kemudian turunlah ayat di atas.

Kata tasubbû dalam ayat di atas terambil dari kata sabba, yaitu ucapan yang mengandung makna penghinaan terhadap sesuatu, atau penisbahan suatu kekurangan atau aib terhadapnya, baik hal itu benar adanya, terlebih jika tidak benar.

Hal ini bukan berarti mempersamakan semua agama. Ayat ini tidak memaksudkan seperti mempersalahkan satu pendapat atau perbuatan, juga tidak termasuk penilaian sesat terhadap satu agama, bila penilaian itu bersumber dari agama lain. Yang dilarang adalah menghina tuhan-tuhan orang lain tersebut. Larangan ayat ini bukan kepada hakikat tuhan-tuhan mereka, namun kepada penghinaan, karena penghinaan tidak menghasilkan sesuatu menyangkut kemaslahatan agama. Agama Islam dating membuktikan kebenaran, sedang makian biasanya ditempuh oleh mereka yang lemah. Akibat lain yang mungkin terjadi adalah bahwa kebatilan dapat tampak di hadapan orang-orang awam sebagai pemenang. Ayat ini secara tegas ingin mengajarkan kepada kaum Muslimin untuk dapat memelihara kesucian agamanya dan menciptakan rasa aman serta hubungan harmonis antarumat beragama. Manusia sangat mudah terpancing emosinya bila agama dan kepercayaannya disinggung. Ini merupakan tabiat manusia, apa pun kedudukan sosial dan tingkat pengetahuannya, karena agama bersemi di dalam hati penganutnya, sedangkan hati adalah sumber emosi. Hal tersebut berbeda dengan pengetahuan yang mengandalkan akal dan pikiran. Oleh karena itu, adalah mudah bagi seseorang mengubah pendapat ilmiahnya, tetapi sangat sulit mengubah kepercayaannya, walau bukti-bukti kekeliruan kepercayaan telah terpampang di hadapannya.

Berpijak pada kode etik di atas, al-Qur’ân mendorong kaum Muslimin untuk bekerja sama dengan pemeluk agama lain. Dalam kaitan ini, al-Qur’ân memberi petunjuk sebagaimana dipaparkan dalam Q.S. al-Mumtahanah [60]: 8-9:

Dari paparan di atas, terlihat jelas bahwa al-Qur’ân sangat menghargai prinsip-prinsip pluralitasyang merupakan realitas yang dikehendaki oleh Allah SWT. Pernyataan al-Qur’ân dalam surah al-Hujurât [49]: 13, sebagaimana telah dikutip di atas menunjukkan pengakuannya terhadap pluralitas. Prinsip pluralitas ini juga dapat ditelusuri dalam ayat lain yaitu Q.S. al-Rûm [30]: 22 yang menyatakan bahwa perbedaan bahasa dan warna kulit manusia harus diterima sebagai kenyataan yang positif, yang merupakan salah satu dari tanda-tanda kekuasaan Allah, sebagaimana tergambar dalam firmanya:

“Dan di antara tanda-tanda-Nya adalah penciptaan langit dan bumi serta perbedaan lidah kamu dan warna kulit kamu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang alim.”

Perbedaan tersebut tidak harus dipertentangkan sehingga harus ditakuti, tetapi harus menjadi titik tolak untuk berkompetisi menuju kebaikan. Sebaimana di tegskan dalam Q.S. al-Mâ’idah [5]: 48.

Menyikapi fakta pluralitas sosial tersebut, al-Qur’ân menganjurkan agar umat Islam mengajak kepada komunitas yang lain (khususnya Yahudi dan Nasrani) untuk mencari suatu pandangan yang sama (kalimah sawâ’). Hal ini ditegaskan dalam Q.S. Âli ‘Imrân [3]: 64:

“Katakanlah wahai ahl al-kitâb, marilah menuju kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan kita tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan yang lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah: Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang Muslim yang berserah diri (kepada Allah).”

Selanjutnya, apa yang dimaksud dengan kalimah sawâ’? Dalam ayat tersebut telah terjawab bahwa titik temu itu adalah bahwa masing-masing hanya akan menyembah Allah SWT. dan tidak menyekutukan-Nya (berlaku syirik). Apakah akidah ahl al-kitâb itu benar-benar seperti yang dimaksud dalam ayat tersebut ataukah sudah mengalami penyimpangan sehingga dinilai syirik oleh al-Qur’ân? Ini adalah persoalan yang cukup krusial dan butuh pemaparan yang komprehensif dan argumentatif. Hanya saja, tulisan ini tidak ditujukan untuk menjawab pertanyaan tersebut.





BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline